Interaksiku yang nyaman dengan Mayang membuat penyesuaian cara hidup di negeri tropis dapat dilakukan dengan lancar. Demikian juga sebaliknya, gadis yang jika tertawa tampak sederet giginya yang berjejer rapi, saat ini sudah lebih banyak mengerti akan kebutuhan harianku yang diperlukan.
"Air mandi sudah siap, Tuan!" itulah kata-kata yang sering diucapkan Mayang pada pagi maupun sore hari menjelang malam.
"Terima kasih,"itulah jawabanku singkat hanya untuk membuat Mayang segera berpindah ke pekerjaan lainnya.
Hal yang pada awalnya merupakan sesuatu yang tidak kumengerti dan sulit untuk dilakukan. Tetapi ia selalu mengingatkan terutama pada minggu-minggu pertama kedatanganku di Batavia yang selalu menyediakan keperluan mandi harianku secara teratur. Biasanya aku hanya terbengong saja memperhatikan Mayang yang masih terus berdiri sambil tertunduk, untuk memastikanku telah melakukannya. Sesuatu yang menurutku sangat tidak masuk akal. Mandi adalah sesuatu yang jarang dilakukan dinegeri asalku dimana mata hari paling terlihat hanya dalam waktu 3 bulan saja. Itupun masih tetap dalam cuaca yang masih dingin menggigil.
Meskipun akhirnya aku dapat mengerti dan kemudian menuruti permintaan dari seorang perempuan pembantu rumah tangga pribumi asli tersebut. Mayang melakukannya dengan alasan, bahwa setelah beraktifitas penuh diluar ruang yang cuaca terik pasti membuat seluruh tubuh gerah dengan keringat yang terasa lengket dikulit. Pastilah sangat membuat badan terasa tidak nyaman terutama pada malam hari saat istirahat tidur malam.
Hal lainnya yang pada awalnya membuat kami tidak saling mengerti yaitu dalam berpakaian.
"Dimana kau simpan mantel biruku, Mayang?" karena aku tidak melihat seragamku yang tampak mencolok dan sangat tebal itu.
"Semua baju terlipat dan disimpan dilemari kamar," Mayang menunjuk sambil menunduk dengan jempol kanannya kearah yang dimaksudkan, " beberapa kain tebal dan alas kasur juga terlipat rapi di atas lemari, Tuan,"jawabnya panjang lebar. Aku terbelalak mendengarnya. Kupastikan Mayang menduga seragamku itu adalah selimut atau alas kasur tidurku, sehingga tidak disimpan dilemari pakaian. Dan memang terlihat seragam mantel berbahan wol tebal berwarna biru selutut itu terbungkus rapi diatas lemari kayu disudut kamarku. Saat di Bristol, seragam tersebut biasanya juga berfungsi untuk menahan cuaca luar yang dingin dan bahkan terkadang membeku. Mantel yang sangat tebal, tentu akan terasa sangat tidak nyaman jika digunakan di Batavia yang rata-rata suhu hariannya mencapai 28 derajat celsius dan bahkan sering lebih dari itu.Â
Mantel tebal biru kehitaman lengkap dengan epaulette[1] itu biasanya tetap kupakai saat acara-acara resmi kerajaan di Batavia. Sejenis mantel yang menutup tubuh dengan ornamen hiasan dari benang-benang besar yang mengkilat berwarna keemasan yang dijalin bertumpuk tumpuk dibagian pundak dikiri dan kanan. Siapapun perwira Inggris yang memakainya akan terlihat sangat gagah dipandang mata.Â
Â
Simbol dan ornamen pakaian tersebut sekaligus untuk menunjukkan status sosial dan hirarki seorang perwira kerajaan Inggris. Tetapi beberapa kebiasaan berpakaian harian seperti sebelumnya tetap kupertahankan. Seperti memakai celana ketat dibawah lutut lengkap dengan dengan stoking-stoking berwarna putih bersih yang mencolok.
Â
Ada asesoris tambahan yang membuat sangat mencolok penampilan orang-orang Eropa di Batavia dibanding masyarakat lainnya. Kebiasaan itu masih selalu dilakukan terutama untuk tampil diacara seremonial kerajaan di Batavia yaitu memakai wig atau rambut palsu. Pilihan rambut palsunya berwarna putih, tebal dan bergelombang yang menjuntai sampai sedada, secara otomatis wig tersebut menyembunyikan rambut asliku yang pendek berwarna pirang.
Â
Karena perbedaan pandangan terkait cara berpakaian antara di Eropa dan Batavia juga kembali kualami antara aku dan Mayang pada suatu saat.
Â
        "Pakailah mantel ini!" aku mendekati Mayang dengan membawa baju mantel bersih dari lemari saat ia akan kembali kerumahnya setelah bekerja.
Â
        "Tidak, terimakasih Tuan Stewart!" ungkapnya dengan nada rendah tetapi tegas menolak. Mantel yang kutawarkan kepadanya suatu sore menjelang malam. Adalah suatu keanehan bagiku melihat seorang perempuan berjalan dilorong-lorong jalan umum yang gelap dengan berpakaian tipis seadanya seperti itu. Sedang di Inggris pakaian perempuan dibuat berlapis-lapis tebal dan sangat berat. Justru disini kumelihat perempuan-perempuan berlalu lalang seperti hanya memakai pakaian dalam saja. Bahannya pun tipis seperti hanya sekedar melekat ditubuh. Jika di Inggris perempuan seperti itu akan dikatakan sangat tidak bermoral dan hanya akan dilakukan oleh perempuan yang pekerjaannya sebagai penjaja cinta. Keinginanku memang tidak ingin Mayang dianggap seperti perempuan pemberi kesenangan sesaat kepada pria-pria diluar sana.
Â
Meskipun dihatiku sejak awal mengatakan itu adalah suatu bentuk 'hiburan gratis' bagi pria-pria Eropa pendatang sepertiku di Batavia.  Sudah tidak terkira berapa banyak gadis-gadis hilir mudik didepanku hanya dengan pakaian seadanya, hal sangat tabu jika dilakukan perempuan-perempuan terhormat dinegeriku. Tambahan lainnya, untuk membuat betah orang-orang Inggris yang ada di kota, pihak kerajaan juga berupaya untuk memberikan hiburan bagi warga Eropa yang tercerabut jauh dari negerinya  melalui pesta-pesta yang diadakan secara rutin di akhir pekan.
Â
***
Â
Malam itu aku telah bersiap diri, sangat formal dengan mengenakan pakaian kebesaranku. Sebuah mantel biru yang pada bagian belakang tubuh menjuntai sampai berada sedikit diatas bagian lutut belakang. Rumbai-rumbai benang berwarna perak keemasan seperti ditumpuk dipundak kiri dan kanan, ditambah ornamen benang emas dibagian krah baju dan dibeberapa bagian yang dijahitkan dekat kancing baju. Tambahan, tidak lupa aku memakai wig rambut berwarna putih ikal yang terpasang sangat stabil dikepalaku.
Â
Sesuai dengan statusku yang berpangkat letnan kolonel. Derajat kepangkatan militer yang termasuk di jajaran perwira tinggi militer kerajaan. Tentu banyak kemudahan aku dapatkan termasuk beberapa prioritas pelayanan khusus selama jamuan penting dilaksanakan, seperti posisi duduk di prioritaskan selalu didepan dan saat menyantap hidangan pasti dimeja kehormatan.
Â
Sampai pada suatu saat dalam sebuah perjamuan makan malam yang sering diadakan oleh pejabat Eropa membuatku sangat terkejut sekaligus bangga. Disana ditampilkan tarian lokal pribumi yang wajah penari utamanya sangat kukenal baik. Dia adalah Mayang gadis belia yang menurutku sangat matang sebelum waktunya. Malam itu ia menarikan tari topeng sambil diiringi musik pengiring. Semua tamu yang hadir terhibur dan terlihat sangat menikmati penampilannya malam itu.
Â
 "Kaukah ini Mayang?," kusapa gadis yang baru saja tampil tersebut dalam bahasa Melayu.
Â
"Ya,Tuan Stewart!", jawabnya singkat membalasku masih dengan nafas tersengal-sengal, sekaligus ia berusaha memastikan dugaanku adalah benar adanya.
Â
 Tarian topeng Batavia yang dibawakannya adalah sebuah tarian energik dengan lenggak lenggok gemulai yang diiringi musik dan seorang penyanyi tradisional. Pertunjukan yang mendapatkan tepukan meriah dari semua pejabat kehormatan Inggris di Batavia.
Â
Dengan nafasnya yang masih tersengal-sengal dan bulir-bulir keringat tampak membasahi keningnya. Wajah Mayang tampak sangat berbahagia dan puas karena telah dapat menampilkan tarian yang sangat dijiwainya sehingga mendapat tepukan meriah dari seluruh hadirin. Dikepalanya tampak hiasan tajuk-tajuk berwarna emas yang terus bergerak seperti tidak mau berhenti menari. Beberapa asesori gelang, kalung dan ornamen baju serta ikat pinggang tampak berlomba untuk menonjolkan warna kemilau kuning keemasannya. Kebaya putih dan sarung berwarna cerah yang dikenakan menambah sempurna setiap gerakan tariannya yang gemulai namun sangat bertenaga dibeberapa bagiannya. Seperti seorang penari profesional
Â
 "Siapa mengantarmu pulang?", sambungku kembali penasaran dan berusaha lebih mendekat.
Â
"Dan aku bisa mengantarmu pulang sekarang, Mayang!"
Â
 "Diantar Dirja, Tuan!" sahut Mayang langsung sambil menunjuk seorang pemuda pengiring musik kendang saat pertunjukan sebelumnya. Pemuda yang ditunjuk kemudian mengangguk-angguk beberapa kali. Kemudian merekapun terlihat segera bergegas meninggalkan ruangan bersama grup keseniannya.
Â
Perasaanku kembali tidak tenang. Terkait keselamatan Mayang saat perjalanan kembali dikediamannya. Meskipun yang ditunjuknya mengarah ke seorang Dirja, yang dianggapnya dapat mengamankan perjalanan pulangnya malam itu. Dirja, sebuah nama yang tidak pernah kudengar sama sekali sebelumnya. Tetapi karena pesta belum usai sehingga aku kembali larut dengan beberapa teman Eropaku dalam keasyikan pesta dansa malam itu. Dan seorang Dirja-pun akhirnya kulupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H