Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (2. Serenade winter di Bristol)

25 Januari 2022   16:02 Diperbarui: 29 Januari 2022   22:39 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pohon maple dikiri kanan sungai yang sebelumya tampak menghijau, saat ini tampak serempak mengubah warnanya menjadi kuning keemasan. Daun-daun yang menguning tua itu sepertinya masih tidak mau melepaskan diri dari ujung-ujung rantingnya yang tampak sudah menghitam. Tetapi belum waktunya dedaunan meranggas.

Sedang burung-burung gagak yang selalu hadir dimusim salju seperti sangat bersemangat berterbangan sambil beriringan kesana kemari melawan hawa dingin yang merasuk. Bunyi nyanyiannya melengking nyaring, seolah memberitahu kepada seluruh penduduk Bristol untuk  mempersiapkan diri menghadapi musim salju yang beku dan sunyi. Dikiri kanan sungai tampak asap menggumpal-gumpal berebut keluar dari cerobong asap rumah terapung. Semuanya seperti bersiap untuk  selalu menjaga kehangatan menuju musim salju tiba.

Biarlah musim yang membeku, tetapi jiwaku akan selalu terasa hangat saat berada di samping Pruistine sambil memelihara obsesi untuk terus berpetualang ditempat yang kuangankan. Hal tersebut sebenarnya sejalan dengan semangat kota Bristol sebagai pusat penjelajahan dunia yang melegenda. Kota tempatku dilahirkan ini sampai menyandang sebutan sebagai seorang Kapten Stewart, sepertinya selalu mendorongku untuk menjelajah kesetiap pelosok belahan dunia manapun. Tanpa terkecuali.

“Tidak cukupkah dengan apa yang telah kau miliki saat ini, Stewart!” Pruistine suatu ketika dengan nada semakin lemah dan serak mengingatkan kembali terkait keinginanku untuk berlayar jauh. Aku mengernyitkan dahi, biasa akan tampak jelas sekali tiga garis melintang dikening sebagai tanda usiaku telah memasuki paruh baya dan Pruistine akan berkata

“Sudahlah Stewart usiamu tidak bisa berbohong,” sambil ia menunjuk jidatku yang mulai tampak menua dan mengingatkanku untuk tidak pergi berlayar jauh. Dan aku hanya memandangnya kembali dengan senyuman yang dalam.

“Percayalah! masa depan kita ada disana, Pruistine”  jawabku bersemangat, meski wajah Pruistine tampak berusaha tersenyum membesarkan hatiku, karena ia sangat mengenaliku sebagai seorang yang sangat teguh memegang pendirian. 

Memang akhir-akhir ini nama Hindia Belanda seperti telah menyihirku. Jejeran pulaunya yang ditumbuhi pohon kokoh tropis berdaun lebat yang berpigmen hijau terang. Tanahnya subur  dengan berbagai jenis  tanaman rempah yang diperebutkan pedagang dari seluruh dunia. Dengan  tujuan terakhirku adalah ingin sekali menginjakkan kaki di Kerajaan Sambas Darussalam yang terletak di Pulau Borneo. Diceritakan bahwa lapisan tanahnya yang luas terhampar sejauh mata memandang tersimpan banyak mengandung butiran emas dengan armada lautnya yang sangat gagah berani.

Motivasi menjelajahi pulau-pulau di Hindia Belanda semakin membuncah saat semboyan: gold, glory dan gospel selalu digaungkan kepada pelaut sepertiku. Kata-kata mantra yang memberikan semangat bagi pelaut untuk berlayar keseluruh empat penjuru mata angin dengan tujuan mencari kekayaan, kejayaan dan yang terpenting menjalankan perintah suci dari Tuhan dalam menyebarkan ajaran cinta kasih Kristus. Sehingga segala halang rintang yang dihadapi seperti tidak berarti.

Cerita-cerita saudagar sukses. Tuturan penuh semangat dengan wajah sumringahnya tentara- tentara belia kerajaan dalam menceritakan penaklukan wilayah yang sukses gilang gemilang.  Kemudian narasi terus mereka lanjutkan tanpa jeda akan penjelajahan pulau-pulau cantik, secantik gadis-gadis pribumi Hindia Belanda yang mendiaminya lengkap dengan misteri-misteri  yang menyertainya. Semuanya kembali menjadi motivasi tanpa kendali bagi siapapun yang mendengarkannya.

Aku Stewart, perwira kerajaan Inggris berpangkat kapten, dari negeri yang selama ini dikenal sebagai penguasa samudra. Selalu berlayar dengan semangat untuk: lihat, datang dan menang  atau slogan dalam bahasa latinnya adalah: veni ,vidi dan vici, telah lebih dari cukup sebagai bahan bakar dan memompa semangat juang pantang menyerah  dari setiap pelaut Inggris.

Aku seorang pelaut paruh baya. Didalam dokumen pelayaran identitasku akan selalu dituliskan seperti dibawah ini

Nama    : Letnan Kolonel John Stewart

Usia       : 40 tahun

Asal       : Bristol Inggris

Banyak deskripsi fisik lain yang dilekatkan kepadaku. Dulu disaat pangkatku masih rendah. Kawan-kawanku sering memanggilku dengan sebutan seperti si mata abu-abu dan si rambut pirang. Panggilan tergantung situasi kondisi serta keperluannya.  Sedangkan, awak kapal layar biasa memanggilku dengan Kapten Stewart, yang artinya adalah penjaga. Nama yang sudah menjadi takdirku. Lebih lanjut, arti “stewart” yaitu menjaga semua yang sudah kumiliki seperti pangkat dan kedudukan. Bagiku amanah yang teramat penting yaitu melaksanakan tugas negara, didalamnya termasuk mengamankan wilayah daerah jajahan baik yang sudah direbut maupun memimpin misi penyerangan daerah strategis lain berikutnya atas nama Kerajaan Inggris.

Kuakui setiap misi pelayaran memerlukan pengorbanan yang sangat besar. Seorang kapten memegang peran kunci untuk berhasil memenangi penaklukan. Tugas yang dikerjakan dengan baik akan membawa keuntungan bagi Inggris serta akan menyelamatkan banyak nyawa atau seorang kapten bahkan bisa disebut sebagai perpanjangan tangan dari malaikat penyelamat.

Pengorbanan besar juga telah diberikan oleh keluarga yang rela dan ikhlas ditinggalkan. Tidak jarang pelaut tidak kembali lagi dengan berbagai alasan. Banyak yang pulang hanya tinggal nama; dan itu masih dapat dikatakan beruntung; karena kematian seorang pelaut dapat diceritakan sebab akibatnya dan dimana disemayamkannya. Diberbagai kasus ternyata banyak kapal layar lenyap ditelan gelombang karena menghantam karang laut, dirompak dan atau secara kejam ditenggelamkan  sehingga tiada kabar berita sampai dengan hari ini.

****

Minggu sore 25 Oktober 1812

“Aku akan memastikanmu Pruistine, tetap baik-baik saja,” kutatap mata birunya dengan tajam disore yang menggigil diantara serpihan-serpihan salju tipis dan lembut yang tampak sangat putih bersih melayang-layang jatuh dengan anggunnya. Sebagian jatuh mendarat diujung–ujung rambut blonde istriku yang panjangnya sedada. Gaun hitam yang dipakainya sangat kontras dengan salju yang tampak memutih dimerata tempat. Topi bundar berbahan kain berwarna gelap senada dengan gaun yang dipakainya melindungi sebagian wajah anggunnya. Lipstik merah maron-nya yang menyala tidak dapat menyembunyikan wajah pucatnya di antara salju yang turun sangat  lebat. Tali topi kain yang diikatnya rapi dan cantik persis dibawah rahang bawah kanan membuat wajahnya tetap cantik diusianya yang mendekati 40-an. Perempuan yang sangat kucintai sejak pertama kali ketemu, rambut lurusnya tersisir rapi seperti biasanya. Itulah penampilan wanita cantik pendamping hidupku sejak 20 tahun yang lalu. Tetapi sore ini suasananya terasa kaku dan membeku.

Pruistine. Gadis  yang dulu sempat kupacari selama 4 tahun tampak berusaha tegar. Terlihat air matanya tertahan, seperti menggenang dikedua kelopak matanya. Ia masih tidak berkata-kata. Pipinya akhirnya tampak semakin pucat menahan udara yang cukup dingin menggigit kulit pada sore yang sejuk. Tiupan angin yang kadang berhembus membuat rahang gigi berbunyi gemeretak tanpa diminta. Tak terasa tubuh kami reflek menggigil seketika kedinginan.

Seorang wanita yang berdiri didepanku saat ini. Dulunya sering kutemui di gereja Saint Mary Redcliffe yang selalu bersama kedua orangtuanya. Mereka selalu rutin melakukan ibadah minggu pagi di gereja megah dengan kubah tertingginya yang lancip seperti siap menghunus langit biru.

Dilangit terlihat beberapa burung gagak hitam menerobos salju. Kepakan sayap-sayapnya terdengar sangar jelas...wuss..wuss..wuss...wuss..sambil memekikkan suaranya yang khas dan sangat berisik. Persis diseberang sungai tampak hutan lebat yang daunnya menguning keemasan sebagaian meranggas menutup tanah. Dahan dan rantingnya  tampak berwarna coklat, seperti  tidak sanggup lagi menghadapi terpaan cuaca dingin dibawah titik beku di Bristol. Sebuah serenade musim salju yang megah untuk dinikmati oleh siapapun.

 “Stewart!” kemudian tiba-tiba Pruistine merangkulku erat. Sepertinya ia tidak rela membiarkanku menaiki anak tangga kapal yang sebentar lagi membawaku berlayar ke pulau subur kaya rempah Hindia Belanda. Air matanya  tampak semakin menggenang dikedua kelopak matanya. Pruistine seperti membisikkan sesuatu ketelingaku diselingi badannya sesekali seperti bergoncang  menahan emosi kesedihan karena segera akan berpisah dengan orang yang dikasihinya.

“Pruistine, ... sayang!” aku hanya bisa menyebut namanya sambil mengusap air mata Pruistine yang terlihat mengalir pelan membasahi kedua pipinya yang tampak memerah karena tidak kuat menahan emosinya. Tidak ada kata-kata lainnya yang dapat mewakili rasa sedih kami karena harus menghadapi perpisahan saat ini. Tetapi obsesiku untuk terus berpetualang ke Hindia Belanda, ditambah dengan semangat juang sebagai perwira kerajaan Inggris tidak bisa menghentikan langkahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun