Aku seorang pelaut paruh baya. Didalam dokumen pelayaran identitasku akan selalu dituliskan seperti dibawah ini
Nama : Letnan Kolonel John Stewart
Usia : 40 tahun
Asal : Bristol Inggris
Banyak deskripsi fisik lain yang dilekatkan kepadaku. Dulu disaat pangkatku masih rendah. Kawan-kawanku sering memanggilku dengan sebutan seperti si mata abu-abu dan si rambut pirang. Panggilan tergantung situasi kondisi serta keperluannya. Sedangkan, awak kapal layar biasa memanggilku dengan Kapten Stewart, yang artinya adalah penjaga. Nama yang sudah menjadi takdirku. Lebih lanjut, arti “stewart” yaitu menjaga semua yang sudah kumiliki seperti pangkat dan kedudukan. Bagiku amanah yang teramat penting yaitu melaksanakan tugas negara, didalamnya termasuk mengamankan wilayah daerah jajahan baik yang sudah direbut maupun memimpin misi penyerangan daerah strategis lain berikutnya atas nama Kerajaan Inggris.
Kuakui setiap misi pelayaran memerlukan pengorbanan yang sangat besar. Seorang kapten memegang peran kunci untuk berhasil memenangi penaklukan. Tugas yang dikerjakan dengan baik akan membawa keuntungan bagi Inggris serta akan menyelamatkan banyak nyawa atau seorang kapten bahkan bisa disebut sebagai perpanjangan tangan dari malaikat penyelamat.
Pengorbanan besar juga telah diberikan oleh keluarga yang rela dan ikhlas ditinggalkan. Tidak jarang pelaut tidak kembali lagi dengan berbagai alasan. Banyak yang pulang hanya tinggal nama; dan itu masih dapat dikatakan beruntung; karena kematian seorang pelaut dapat diceritakan sebab akibatnya dan dimana disemayamkannya. Diberbagai kasus ternyata banyak kapal layar lenyap ditelan gelombang karena menghantam karang laut, dirompak dan atau secara kejam ditenggelamkan sehingga tiada kabar berita sampai dengan hari ini.
****
Minggu sore 25 Oktober 1812
“Aku akan memastikanmu Pruistine, tetap baik-baik saja,” kutatap mata birunya dengan tajam disore yang menggigil diantara serpihan-serpihan salju tipis dan lembut yang tampak sangat putih bersih melayang-layang jatuh dengan anggunnya. Sebagian jatuh mendarat diujung–ujung rambut blonde istriku yang panjangnya sedada. Gaun hitam yang dipakainya sangat kontras dengan salju yang tampak memutih dimerata tempat. Topi bundar berbahan kain berwarna gelap senada dengan gaun yang dipakainya melindungi sebagian wajah anggunnya. Lipstik merah maron-nya yang menyala tidak dapat menyembunyikan wajah pucatnya di antara salju yang turun sangat lebat. Tali topi kain yang diikatnya rapi dan cantik persis dibawah rahang bawah kanan membuat wajahnya tetap cantik diusianya yang mendekati 40-an. Perempuan yang sangat kucintai sejak pertama kali ketemu, rambut lurusnya tersisir rapi seperti biasanya. Itulah penampilan wanita cantik pendamping hidupku sejak 20 tahun yang lalu. Tetapi sore ini suasananya terasa kaku dan membeku.
Pruistine. Gadis yang dulu sempat kupacari selama 4 tahun tampak berusaha tegar. Terlihat air matanya tertahan, seperti menggenang dikedua kelopak matanya. Ia masih tidak berkata-kata. Pipinya akhirnya tampak semakin pucat menahan udara yang cukup dingin menggigit kulit pada sore yang sejuk. Tiupan angin yang kadang berhembus membuat rahang gigi berbunyi gemeretak tanpa diminta. Tak terasa tubuh kami reflek menggigil seketika kedinginan.