Seorang wanita yang berdiri didepanku saat ini. Dulunya sering kutemui di gereja Saint Mary Redcliffe yang selalu bersama kedua orangtuanya. Mereka selalu rutin melakukan ibadah minggu pagi di gereja megah dengan kubah tertingginya yang lancip seperti siap menghunus langit biru.
Dilangit terlihat beberapa burung gagak hitam menerobos salju. Kepakan sayap-sayapnya terdengar sangar jelas...wuss..wuss..wuss...wuss..sambil memekikkan suaranya yang khas dan sangat berisik. Persis diseberang sungai tampak hutan lebat yang daunnya menguning keemasan sebagaian meranggas menutup tanah. Dahan dan rantingnya tampak berwarna coklat, seperti tidak sanggup lagi menghadapi terpaan cuaca dingin dibawah titik beku di Bristol. Sebuah serenade musim salju yang megah untuk dinikmati oleh siapapun.
“Stewart!” kemudian tiba-tiba Pruistine merangkulku erat. Sepertinya ia tidak rela membiarkanku menaiki anak tangga kapal yang sebentar lagi membawaku berlayar ke pulau subur kaya rempah Hindia Belanda. Air matanya tampak semakin menggenang dikedua kelopak matanya. Pruistine seperti membisikkan sesuatu ketelingaku diselingi badannya sesekali seperti bergoncang menahan emosi kesedihan karena segera akan berpisah dengan orang yang dikasihinya.
“Pruistine, ... sayang!” aku hanya bisa menyebut namanya sambil mengusap air mata Pruistine yang terlihat mengalir pelan membasahi kedua pipinya yang tampak memerah karena tidak kuat menahan emosinya. Tidak ada kata-kata lainnya yang dapat mewakili rasa sedih kami karena harus menghadapi perpisahan saat ini. Tetapi obsesiku untuk terus berpetualang ke Hindia Belanda, ditambah dengan semangat juang sebagai perwira kerajaan Inggris tidak bisa menghentikan langkahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H