“ Alejandro menangis sejak tadi Nirmala, susuilah dia!” tiba-tiba Fernandez suamiku memegang pundakku dari belakang. Ia mengingatkan aku untuk segerai menemui anak keempat kami yang dua bulan lalu baru saja kulahirkan. Ia menatapku tenang dan ada gurat kecil senyuman diwajahnya. Angin yang berhembus disiang yang terik itu tetap terasa sejuk diatas bukit tertinggi Santa Maria. Suatu wilayah perbukitan dimana saat ini keluarga kecilku menghabiskan hari-harinya.
Dititik aku berdiri saat ini adalah tempat dimana aku bisa melihat dengan jelas samudra biru dengan burung-burung elang yang terbang tinggi dan bebas kemana saja sesuai kehendaknya. Tanpa disadari terkadang aku mengikuti kepakan sayap burung-burung itu dengan merentangkan kedua belah tangan seolah-olah aku telah menjadi seekor burung elang yang terbang tinggi nun jauh disana.
“Jangan menangis, Nirmala!” Fernandez dengan pelan menyeka air mataku yang terus mengalir deras tanpa aku minta dan bisa kuhentikan. Aku tetap terdiam dengan pandangan tetap ke langit biru mengikuti dimana kelompok burung-burung itu terbang. Tidak ada satu katapun yang terucap dari bibirku.
Aku hanya kembali berusaha ingin mengepakkan kedua belah tanganku yang saat ini telah berada didalam genggaman tangan Fernandez. Sebuah genggaman yang kuat sekali. Aku berusaha memberontak tetapi tangan-tangan kekar Fernandez selalu lebih kuat.
“ Emak dan ayah menungguku Fernandez!” kembali aku menyatakan keinginanku. Mungkin juga sudah tak terhitung lagi Fernandez mendengar kata-kata yang sama meluncur dari bibirkuku, terutama disaat aku tidak bisa menahan rindu akan kampung halaman.
“Kita akan segera kesana bersama empat anak kita, Nirmala!” seperti biasa Fernandez kembali berusaha menenangkan emosiku dengan membelai rambutku yang tak henti-hentinya ditiup angin yang sedikit kencang disiang itu. Seorang pria yang telah sangat telaten menghadapi kerinduanku yang tak terkira akan kampung halamanku.
Meskipun aku tahu itu akhirnya adalah kata untuk menghiburku saja. Aku juga sadar dengan kondisi ekonomi dimana pekerjaanku hanya mengasuh anak dan pekerjaan Fernandez sebagai buruh kebun dan tukang serabutan tentu harapan itu masih terasa sangat jauh. Tetapi asa untuk bertemu dengan kedua orang tuaku tetap menyala. Seperti biasanya kami sesaat berdua duduk termenung memandang kedepan tanpa kata-kata lagi dengan ditemani bunyi jangkrik yang terus berdengung nyaring . Dengan air mata yang terus mengalir aku beranjak pergi untuk segera kembali kerumah mendekap Alejandro yang gelisah kutinggalkan sejak tadi. Seingatku kejadian dibukit Santa Maria adalah bukan kejadian pertama. Seperti biasa tidak sulit bagi suamiku untuk mencariku kemana aku menghilang karena ia terbiasa dengan lingkungan tanah kelahirannya.
“Aku...ingin terbang, Fernandez!” ucapku tiba-tiba sambil terus sesenggukan menangis tanpa suara. Hanya tubuhku saja yang terasa terguncang karena harus menahan emosi dan tangis yang tidak tertahankan. Aku merasa kalah. Sebuah nasib menahan rindu kepada emak dan ayah di kampung kelahiranku nun jauh disana.
Jan Bestari
Sambas, 25 April 2021
(Serpihan catatan dari kisah perjuangan seorang perempuan yang pernah bekerja di negeri jiran Malaysia dan saat ini masih memendam asa rindu pulang ketanah air. Beberapa tahun yang lalu emak yang sangat dirindukannya telah pergi untuk selamanya)