Iming-iming bekerja dinegeri tetangga Malaysia yang hanya sepelemparan batu dari tempatku oleh seorang pencari tenaga kerja kampung ternyata telah berhasil membuaiku. Tujuanku tidak lain hanya ingin segera membahagiakan kedua orangtua dan merubah nasib keluargaku yang hidup serba kekurangan.
Rasa iri bertambah menguat setelah melihat keberhasilan beberapa teman-teman sebayaku yang pergi mendahului merantau dan terlihat sukses karena mereka telah dapat mengirimkan sejumlah uang yang membuat kedua orang tuanya dikampung tersenyum bahagia.
Tidak ada juga yang menghambat kepergianku saat itu. Apalagi kakak perempuanku Leni akan ikut bersamaku. Satu hal yang menghambat kepergian kami hanya restu kedua orangtua terutama emak yang terus berupaya untuk menghalang-halangi kepergian kami. Tetapi tekadku bulat.
Hingga Sampai saatnya, semua dokumen perjalananku telah selesai dibantu oleh si pembawa kerja dengan kesepakatan akan dipekerjakan disebuah kantin di Sarawak Malaysia.
Hanya berbekal sebuah tas jinjing lusuh yang kutenteng dengan penuh percaya diri. Semangat yang begitu menggebu dari seorang anak gadis lulusan pendidikan menengah pertama di Sambas sebuah kabupaten diujung utara propinsi Kalimantan Barat. Meskipun, sampai hari keberangkatan tiba emak tetap saja masih menyusahkan anak gadis kecilnya yang harus pergi merantau jauh sekali.
“Tidak ada yang perlu dirisaukan, Mak!” ucapku disaat emak seperti tidak mau melepaskan pelukannya dariku dan terus membelai rambutku dan membuatku sangat damai, “ Nirmala janji akan bisa jaga diri dan bekerja rajin, Mak!” sambil aku perlahan melepaskan pelukannya dan meninggalkannya dengan air matanya yang tampak tertumpah tanpa dapat dibendung dikedua belah pipinya yang mulai menua.
***
Petualangan perjalanan pertama terjauhku dimulai. Pengembaraan yang penuh harapan serta terasa berbunga-bunga menuju sebuah negeri tetangga Sarawak Malaysia. Tetapi kenyataannya seperti bumi dan langit. seperti kata pepatah “lidah tidak bertulang”.
Pekerjaan yang disampaikan dengan janji manis sebelumnya ternyata tidak sesuai dengan perjanjian saat dikampung. Aku dan kakakku Lina kemudian dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di tempat yang berbeda dimana kami saling tidak mengetahui alamat masing-masing.
“Kak Leni, aku takut!”, Itulah kata-kataku yang keluar disaat tiba waktunya kami akan berpisah. Kakakku hanya mengelus-elus punggungku dan menguatkanku agar aku bersabar kemudian ia memelukku erat dan membisikkan sesuatu ditelingaku.
“Kita telah melangkah, tidak mungkin untuk kembali!” ia terus menyemangatiku sambil air matanya menetes dikedua belah pipinya karena tidak tahu apa yang akan terjadi kepada kami berdua dan ia masih sempat mengatakan