Saat kamu berfikir bahwa Tuhan tidak adil, kamu salah. Bukankah Tuhan adalah yang Maha Adil ? Karena, terbaik untukmu belum tentu terbaik untuk-Nya. Selalu ada hikmah dari setiap hal yang kamu alami.
------
Sudah satu jam berkutat dengan seputar perihal takdir yang menimpa diri. Duduk diatas ranjang dengan Al-Qur'an sebagai alasan hendak tilawah tapi tak terlaksana karena sejak membaca bismillah malah bukan ayat demi ayat yang keluar, semua pikiran gadis itu berputat dengan ucapan sahabatnya beberapa pekan yang lalu.
" Adibaaa, kamu betulan tidak tahu dia akan menikah awal Mei nanti selepas lebaran ?" Teriak Aisya dari arah telepon.
Adiba bungkam, ia tak menyahut ucapan Aisya yang sedari tadi mengoceh.
"Adibaaa, are you okay ?"
Adiba menghela nafasnya pelan.
"I'm okay Aisya !" Jawabnya dengan nada yang di buat ceria.
"Aku tahu sifat kamu Dib !" Ujar Aisya dengan nada merasa bersalah.
"Ya Allah Aisya, aku baik kok. Tak usah khawatir, mungkin Allah tidak menakdirkan aku dengan dia karena Allah tau siapa yang pantas untuk dia dan siapa yang pantas untukku."Â
Kala itu Aisya tiba-tiba menelepon Adiba, awalnya hanya bercerita biasa tentang kehidupan Aisya yang sedang mempuh pendidikan di negeri seribu piramid. Tapi, lama-lama arah perbincangan Aisya melenceng kearah yang tidak di sangka-sangka.
Tak terasa air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. "Astaghfirullah" ucapnya saat sadar dari lamunan panjangnya, ia segera menghapus air matanya.
"Ya Allah, mungkin mengikhlaskan adalah hal tersulit, tapi aku harus belajar membiasakan diri akan hal ini. Belajar bagamaina melepaskan tanpa harus menjadi beban, dan belajar menerima apa yang seharusnya menjadi ketetapan, karena aku tahu Engkau akan memberi hal yang lebih atas segala bentuk ikhtiar yang telah aku lakukan. Apa yang hilang dari hidupku bukanlah suatu hal yang harus aku sesali. Harusnya aku yakin bahwa aku pantas untuk menerima yang lebih baik."
Jerit Adiba dalam hati.
"In Sya Allah aku Ikhlas."
***
Tak terasa, sudah satu bulan Adiba melarikan diri untuk kembali ke rumahnya, berbagi kegundahan hatinya yang sedang ia rasakan kepada ibundanya. Tapi, hari ini saatnya Adiba kembali untuk melanjutkan kembali pendidikan yang ia tempuh di luar Kota. Liburan kali ini lebih tepatnya meliburkan diri baginya adalah liburan yang paling menyakitkan, karena ia harus bertarung dengan pikiran dan hati.
Laki-laki yang selalu Adiba sematkan namanya dalam setiap doanya telah selesai menyempurnakan sebagian agamanya sepekan yang lalu dengan wanita pilihannya.
Tak ada lagi do'a-do'a yang selalu Adiba panjatkan dalam setiap waktunya, yang ada hanya tangisan dan permohonan untuk di ikhlaskan dalam setiap helaan nafasnya.
Karena saat ini hatinya telah tertutup rapat untuk siapapun, ia hanya butuh waktu untuk menata kembali kepingan-kepingan yang telah hancur itu.
"Ada yang ketinggalan ?" tanya seosok laki-laki berumur setengah abad itu.
Adiba menggeleng "nggak ada yah, sudah Adiba cek tadi, semuanya sudah lengkap."
Sesosok laki-laki setengah abad yang di panggil Ayah itupun mengangguk.
"Kamu hati-hati ya di jalan, banyak baca shalawat dan istigfar !!" Pesannya setiap Adiba akan kembali menempuh perjalanan jauh.
Adiba mengangguk. "Siapp bosss !"
Adiba menyium tangan Ayahnya dengan takzim dan memeluknya, di saat Adiba akan menyium tangan bundanya. Bundanya hanya tersenyum meng-isyaratkan sesuatu.
"Kenapa Bun, senyum-senyum ?" Tanya Adiba penasaran.
Perempuan berumur hampir setengah abad itu hanya menggeleng. "Are you okay kak ?" Tanyanya tiba-tiba dengan setengah berbisik.
Adiba mengernyitkan dahinya. "Why?"
"Sepekan ini bunda selalu denger kamu nangis diam-diam di kamar. Kamu nggak kenapa-napa kan ?" Tanyanya lagi, terlihat wajah khawatir yang mendalam terpancar dari aura wajahnya yang sudah menua.
"I'm okay mom, don't worry !" ucap Adiba.
"Alhamdulillah kalau kamu baik-baik aja. Bunda cuman khawatir saja, jangan banyak di pikirkan ya ! In Sya Allah, Allah ganti dengan yang jauh lebih baik dari dia. Ayah dan Bunda selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan adik-adik kamu !"
Adiba hanya mengangguk dan tersenyum culas. "Iya bunda, pokoknya bunda nggak usah khawatir. Adiba baik-baik aja kok !"
"Ya sudah hati-hati ya nak !" Perempuan setengah abad itu menarik Adiba dalam pelukannya.
Pelukan dua orang wanita yang saling mengerti satu sama lain, meskipun tidak harus di ungkapka dengan kata-kata. Seperti ada ikatan batin yang kuat di antara keduanya.
Adiba segera menaik kedalam mobil travel yang ia pesan untuk membawanya kembali ke kehidupannya. Ia yakin bahwa ia akan kembali baik-baik saja disana.Â
"Dulu kamu menjadi doaku yang paling serius, dan sekarang menjadi ikhlas ku paling tulus."
Semoga di bulan-bulan selanjutnya tak ada lagi hujan yang membanjiri seperti hujan di bulan Mei ini.
Dari Adiba untuk mas Crush
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H