Tak terasa air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. "Astaghfirullah" ucapnya saat sadar dari lamunan panjangnya, ia segera menghapus air matanya.
"Ya Allah, mungkin mengikhlaskan adalah hal tersulit, tapi aku harus belajar membiasakan diri akan hal ini. Belajar bagamaina melepaskan tanpa harus menjadi beban, dan belajar menerima apa yang seharusnya menjadi ketetapan, karena aku tahu Engkau akan memberi hal yang lebih atas segala bentuk ikhtiar yang telah aku lakukan. Apa yang hilang dari hidupku bukanlah suatu hal yang harus aku sesali. Harusnya aku yakin bahwa aku pantas untuk menerima yang lebih baik."
Jerit Adiba dalam hati.
"In Sya Allah aku Ikhlas."
***
Tak terasa, sudah satu bulan Adiba melarikan diri untuk kembali ke rumahnya, berbagi kegundahan hatinya yang sedang ia rasakan kepada ibundanya. Tapi, hari ini saatnya Adiba kembali untuk melanjutkan kembali pendidikan yang ia tempuh di luar Kota. Liburan kali ini lebih tepatnya meliburkan diri baginya adalah liburan yang paling menyakitkan, karena ia harus bertarung dengan pikiran dan hati.
Laki-laki yang selalu Adiba sematkan namanya dalam setiap doanya telah selesai menyempurnakan sebagian agamanya sepekan yang lalu dengan wanita pilihannya.
Tak ada lagi do'a-do'a yang selalu Adiba panjatkan dalam setiap waktunya, yang ada hanya tangisan dan permohonan untuk di ikhlaskan dalam setiap helaan nafasnya.
Karena saat ini hatinya telah tertutup rapat untuk siapapun, ia hanya butuh waktu untuk menata kembali kepingan-kepingan yang telah hancur itu.
"Ada yang ketinggalan ?" tanya seosok laki-laki berumur setengah abad itu.
Adiba menggeleng "nggak ada yah, sudah Adiba cek tadi, semuanya sudah lengkap."