Ada juga penghargaan lencana halaman. Sebagai orang yang paling sering memberikan komentar bernilai, atau paling sering bereaksi, membagikan dan berinteraksi dengan konten sebuah halaman, pengguna akan mendapatkan lencana khusus, sebuah hadiah untuk mendorong lebih banyak aktifitas dalam platform.
Penghargaan-penghargaan kecil ini mungkin sepele, tapi secara psikologis kita tetap terpengaruh. Hadiah sosial tetap akan dianggap sebagai hadiah sosial tidak peduli datangnya dari mana. Otak kita tidak cukup berevolusi untuk membedakan antara penghargaan hasil dari upaya kita sosial kita di dunia nyata atau penghargaan semu yang datang dari like dan komentar positif. Dia akan tetap memproduksi dopamin.
Dilema Sosial
Tidak pernah dalam sejarah, para remaja lebih cemasan, rapuh, depresi, tidak percaya diri dan haus perhatian seperti jaman sesudah media sosial. Mereka lebih jarang mengambil resiko, terlibat dalam aktifitas sosial dan interaksi dengan orang lain, tentunya secara langsung. Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) angka remaja yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri naik sebanyak 62% (15-19 tahun) dan 189% (10-14 tahun) sejak 2009.Â
Menurut Jonathan Haidt, psikolog sosial Amerika Serikat, angka ini sangat berkorelasi dengan aplikasi media sosial yang tersedia secara umum di ponsel sejak tahun yang sama. Menakutkannya lagi, pola ini juga terjadi pada angka bunuh diri remaja di kisaran umur yang sama. Yah, itu di Amerika. Di Indonesia sendiri belum ada pendataan semacam itu. Tapi yang pasti, angka bunuh diri di Indonesia juga bertambah setiap tahunnya.
Skema Facebook yang menarik para penggunanya untuk terus berada pada dalam platform membuat para remaja tidak lagi mengandalkan bantuan teman atau orang tua secara langsung ketika dihadapkan dengan masalah. Facebook (mungkin) tidak menyadari ini. Karena hidupnya platform dan perusahaan sangat bergantung pada model bisnis ini.
Facebook tidak mendapatkan uang secara langsung dari penggunanya. Setidaknya, kebanyakannya tidak. Pendapatan inti dari Facebook atau platform media sosial pada umumnya berasal dari pengiklan. Dan seperti pengiklan konvensional di tempat lain, pengiklan di Facebook menarget calon pembeli atau pengguna jasa dari masyarakat.Â
"Kita punya sesuatu yang kalian inginkan dan yang paling kalian butuhkan. Sesuatu yang kalian cari-cari. Itu dia. Sedang melihat video lucu tentang kucing-kucing yang bertingkah aneh. Ingin perhatiannya? Taruh saja iklanmu di depan video itu. 0.07 sen saja."
Ketika kita tidak membayar produk yang kita gunakan, maka kitalah produknya.
Facebook "menjual" perhatian kita kepada para konsumennya yang sebenarnya, pengiklan. Model bisnis inilah yang membuatnya tetap hidup.Â
Well, to be fair, ada juga orang-orang yang tidak masalah dengan ini. Dan perlu ditekankan juga bahwa ini memang tidak menjadi masalah. Model bisnis seperti ini sudah biasa digunakan. TV, radio atau koran misalnya. Iklan ada di sela-sela konten untuk menarik perhatian penonton, pendengar atau pembaca media-media ini. Lalu bedanya mereka dengan Facebook (atau media sosial lain) apa?
Iklan pada media-media konvensional ini diregulasi sesuai ketentuan tiap negara. Di Indonesia sendiri bahkan ada lembaga khusus untuk mengatur dan mengawasi para pengiklan ini. Dan inilah poin paling pentingnya. Di Facebook tidak ada pengawasan apapun selain secara internal.