Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Simak Makna Kematian Melalui Museum Etnografi Unair

25 Maret 2016   15:59 Diperbarui: 25 Maret 2016   17:49 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Infografi tentang persebaran manusia (Foto : Wahyu Chrisnanto)"]

[/caption]Masih kata Toetik, manusia yang masih hidup kadang masih enggan berpisah dari yang sudah mati. Itulah sebabnya di sejumlah budaya dikenal konsep penguburan sekunder;  si mati tidak dijauhkan dari yang hidup, bahkan ada yang masih dibiarkan berada di lingkungan rumah, tentu saja dengan menggunakan bahan-bahan pengawet. 

Di budaya lain, mati bisa bermakna perubahan dari manusia hidup menjadi hantu; mati bisa pula dibedakan mati secara baik dan mati dengan cara kurang baik; dalam hal mana reputasi si mati tetap menjadi pembicaraan orang yang hidup.

Dari segi forensik, misalnya, rangka manusia bisa direkonstruksi untuk menetapkan umur , jenis kelamin, tinggi badan, ras dan mungkin penyebab kematian. Khusus kerangka prasejarah, kita bisa mendapatkan informasi mengenai afinitas, migrasi dan perkembangan morfologi si mati. “Ada sangat banyak informasi dari si mati yang bisa dibedah melalui ilmu antropologi forensik dan paleoantropologi,” ujar Toetik.

Apakah pemuliaan kematian masih dianut di dunia modern?

 “Ya. Kematian bahkan menjadi bisnis di perkotaan, terutama bisnis pemuliaan si mati seperti yang terlihat pada jasa simpan jenazah, jasa kremasi jenazah, jasa penyediaan peti mati sampai jaza rias jenazah,” pungkas Toetik, sarjana Antropologi, FISIP UNAIR (1991) yang memperdalam antropologi forensic di beberapa perguruan tinggi di Eropa dan Asia, dan mendapatkan gelar doktor  dari Hamburg Universitaet di Jerman. Toetik saat ini adalah juga dosen di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga.

Oh ya, Museum Etnografi Unair juga menyediakan buku-buku rujukan tentang kematian dan buku –buku pengetahuan lain tentang evolusi manusia.  Bila Anda berminat, ada buku tentang kematian serta tote bag terbuat dari bahan non-plastik yang bisa Anda beli .

Museum ini cocok dikunjungi semua lapisan masyarakat, termasuk pelajar mulai SD sampai SMA dan mahasiswa perguruan tinggi. Dua petugas Museum Etnografi siap membantu Anda dengan informasi tentang isi dan tema museum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun