Kru Suay Mak (23) bisa dibaca di sini.
Tanpa Nut, perasaan Mirza sangat tak nyaman. Ke mana Nut dibawa oleh Madam Lawan dan centengnya? Kalau mau menyusul ke Pang Mapha, ke arah mana pula jalannya?
Mirza mengemudikan scoopy itu kencang, mengikuti jalan berdebu ke arah yang ia perkirakan sebagai Pang Mapha. Ia sangat berharap bisa ketemu Chon, mahasiswa yang menugasinya dalam proyek gila ini. Ke mana gerangan pemuda itu? Bagaimana cara Mirza menghubunginya? Bukankah kemarin-kemarin Chon bilang ia sudah sampai di Pai, yang berarti tak terlalu jauh dari Mirza. Benar-benar ia tak tahu apa yang harus dilakukan
Meski matahari bersinar, udara tetap dingin menusuk. Mirza mulai merasakan makin nyeri di luka sayat parang di lengannya. Ia harus cari dokter, atau setidaknya tempat rawat kesehatan sekelas puskesmas.
Setelah sekitar 45 menit bermotor hanya dengan mengikuti intuisi, motor mulai mulai terbatuk-batuk, dan mesinnya langsung mati. Tak perlu ia menduga-duga penyebabnya. Bahan bakar habis. Ia membuka penutup tanki bahan bakar dan ia benar. Motor berhenti di tengah hutan sunyi.
Ia standarkan motor di bawah pohon, mencabut kuncinya dan melihat sekeliling.
“Bagus! I am somewhere in nowhere,” gumamnya.
Tak ada pilihan kecuali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Rindunya pada Nut, atau kuatirnya ia pada perempuan itu, makin menjadi-jadi. Sungguh ia tak rela kalau terjadi hal buruk pada Nut. Sejam berjalan, Mirza dihadapkan pada dua cabang jalan, ke kanan dan ke kiri. Ini keputusan yang sulit. Mana yang musti diambil?
Tiba-tiba ia merasa harus mengambil jalan yang mengarah ke kanan, yang ia ikuti terus meski tak tahu ke mana jalan itu menuju.
Beberapa saat kemudian ia mendapati dirinya terdampar di pelataran sebuah wat kecil di antara rerimbunan pohon. Ia melihat kendi yang terletak pada sebuah dudukan di jalan masuk ke wat itu. Ia raih leher kendi dan segera meneguk air. Lega rasanya tenggorakan tersiram air.
“Sawadi khap,” tiba-tiba seorang rahib Buddha seumuran Mirza berdiri di belakangnya. Mirza segera melakukan gerakan wai, menyembah dengan kedua belah tangan.
“Maaf, saya tersesat. Di mana saya?” tanya Mirza.
“Desa Pang Sai, tak jauh dari Pang Mapha. Lenganmu berdarah!” rahib menunjuk luka Mirza, “luka itu perlu dirawat”
“Oh, ya. Saya mencari rumah sakit desa. Yang gratis kalau bisa. Saya tak punya uang sama sekali. Di mana ada?” kata Mirza.
“Tak ada dekat-dekat sini. Dari logat bicaramu, kelihatannya kamu bukan orang Thai,”
“Saya turis dari Indonesia”
Oh, begitu. Biar saya bantu rawat lukamu!” rahib menawarkan, “duduklah di situ,” saya akan mengambil air hangat dan tanaman obat,” ujar rahib.
Mirza duduk di emperan batu wat itu, menatap berkeliling. Sunyi tapi damai tempat itu.
Rahib kembali beberapa saat kemudian, dengan seember plastik air hangat dan dedaunan berikut alat penumbuk dari batu. Ia minta Mirza melepas balutan lukanya. Rahib menyeka luka itu dengan sabar. Terasa ada ribuan sengatan ketika kain basuh menyeka luka itu. Ia baru tahu kain pembalut itu hampir seluruhnya memerah.
“Bagaimana kau bisa dapat luka ini? Berkelahi?” tanya Rahib.
“Tidak. Saya dapat sayatan parang ketika menyelamatkan seorang perempuan dari beberapa orang yang menculik perempuan itu,” jelas Mirza.
“Oh, sungguh heroik. Dan siapa perempuan itu?”
“Seorang perempuan yang saya cintai, guru bahasa Thai saya di Chiang Mai”
“Lalu kenapa kalian berada di daerah sunyi ini?” tanya rahib.
“Kami, saya dan Nut, perempuan itu, sedang berwisata,” Mirza berbohong.
Rahib tersenyum, mulai menumbuk-numbuk beberapa macam dedaunan pada besi penumbuk.
“Kamu tak pintar berbohong. Sang Budha menuntunku untuk tahu bahwa kau dalam masalah besar; selama berada di tanah Siam ini kau telah melakukan berbagai kebaikan, telah merasakan hangatnya cinta, dan ini telah menggiringmu ke masalah besar. Benar begitu?”
“Benar, biksu…..maaf saya tadi tidak berkata benar,” ia malu telah berbohong.
“Tidak apa-apa……ketakutan kadang membuat lidah kita tidak mampu mengeluarkan kata-kata seharusnya. Selain menempuh kebaikan kau juga telah terpaksa menganiaya sesamamu, mencuri barang milik orang lain dan membuat banyak orang tidak senang. Kau memang seharusnya ketakutan…dan auramu berada pada titik paling lemah saat ini,” biksu menempelkan hasil tumbukan ke luka Mirza. Mirza menjerit tertahan tatkala cairan tumbukan daun itu menempel di luka.
“Dan masalah ini belum selesai, ada masalah lebih besar menantimu yang bahkan bisa merenggut nyawamu. Hanya dengan hati yang bersih kau akan bisa melewatinya,” ujar biksu, membalut luka yang telah dibaluri ramuan dengan sehelai kain baru, oranye, sewarna dengan jubah biksu.
Mirza tercenung mendengarkan penuturan biksu. Kata-kata biksu mengingatkannya pada ramalah Dagmar, yang menyatakan bahwa ia akan dapat masalah besar. ia baru menyadari masalah merembet menjadi makin tidak sederhana.
“Tunggu seminggu. Ramuan ini akan mengelupas sendiri, dan kulitmu akan kembali tertutup, nyaris tanpa bekas,” ujar biksu.
“Terimakasih…biksu,” Mirza menyembah dalam-dalam.
“Sekarang kau lepas alas kakimu, cuci kaki di bak air itu,” biksu menunjuk sebuah bak air dari batu terpahat, dengan permukaan air penuh daun teratai.
Mirza mencelupkan kaki ke bak air itu. Kesegaran air pegunungan seperti merambat sampai kepala dan nyeri di luka itu berangsur-angsur sirna.
Biksu memperhatikan setiap gerak-gerik Mirza, dan ia berkata:
“Kau tahu bagaimana kau sampai pada wat ini?” tanya biksu.
“Saya tidak tahu, saya hanya mengikuti kata hati,” kata Mirza.
Biksu tersenyum. “Saya, atas nama Buddha, yang menuntunmu kemari.” Ujar biksu.
Mirza mendongak, masih duduk di tepian bak. “Kenapa saya dituntun sampai kemari?” tanya Mirza.
“Karena kau harus bertemu seseorang di sini. Dialah yang minta saya menuntun kamu kemari,” kata biksu.
“Seseorang? Siapa?” tanya Mirza.
“Berdirilah, keringkan kakimu dan masuklah ke dalam wat. Ia menantimu di sana”
Ragu Mirza berdiri dan menyeka kakinya dengan kedua tangan sampai kering. Perlahan ia melangkah ke wat. Benar, seseorang telah menantinya di dalam wat.
BERSAMBUNG KE SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H