Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kru Suay Mak (24)

25 Februari 2015   19:29 Diperbarui: 13 September 2015   23:22 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

“Lalu kenapa kalian berada di daerah sunyi ini?” tanya rahib.

 

“Kami, saya dan Nut, perempuan itu, sedang berwisata,” Mirza berbohong.

 

Rahib tersenyum, mulai menumbuk-numbuk beberapa macam dedaunan pada besi penumbuk.

 

“Kamu tak pintar berbohong. Sang Budha menuntunku untuk tahu bahwa kau dalam masalah besar; selama berada di tanah Siam ini kau telah melakukan berbagai kebaikan, telah merasakan hangatnya cinta, dan ini telah menggiringmu ke masalah besar. Benar begitu?”

 

“Benar, biksu…..maaf saya tadi tidak berkata benar,” ia malu telah berbohong.

 

“Tidak apa-apa……ketakutan kadang membuat lidah kita tidak mampu mengeluarkan kata-kata seharusnya. Selain menempuh kebaikan kau juga telah terpaksa menganiaya sesamamu, mencuri barang milik orang lain dan membuat banyak orang tidak senang. Kau memang seharusnya ketakutan…dan auramu berada pada titik paling lemah saat ini,” biksu menempelkan hasil tumbukan ke luka Mirza. Mirza menjerit tertahan tatkala cairan tumbukan daun itu menempel di luka.

 

“Dan masalah ini belum selesai, ada masalah lebih besar menantimu yang bahkan bisa merenggut nyawamu. Hanya dengan hati yang bersih kau akan bisa melewatinya,” ujar biksu, membalut luka yang telah dibaluri ramuan dengan sehelai kain baru, oranye, sewarna dengan jubah biksu.

 

Mirza tercenung mendengarkan penuturan biksu. Kata-kata biksu mengingatkannya pada ramalah Dagmar, yang menyatakan bahwa ia akan dapat masalah besar. ia baru menyadari masalah merembet menjadi makin tidak sederhana.

 

“Tunggu seminggu. Ramuan ini akan mengelupas sendiri, dan kulitmu akan kembali tertutup, nyaris tanpa bekas,” ujar biksu.

 

“Terimakasih…biksu,” Mirza menyembah dalam-dalam.

 

“Sekarang kau lepas alas kakimu, cuci kaki di bak air itu,” biksu menunjuk sebuah bak air dari batu terpahat, dengan permukaan air penuh daun teratai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun