“Desa Pang Sai, tak jauh dari Pang Mapha. Lenganmu berdarah!” rahib menunjuk luka Mirza, “luka itu perlu dirawat”
“Oh, ya. Saya mencari rumah sakit desa. Yang gratis kalau bisa. Saya tak punya uang sama sekali. Di mana ada?” kata Mirza.
“Tak ada dekat-dekat sini. Dari logat bicaramu, kelihatannya kamu bukan orang Thai,”
“Saya turis dari Indonesia”
Oh, begitu. Biar saya bantu rawat lukamu!” rahib menawarkan, “duduklah di situ,” saya akan mengambil air hangat dan tanaman obat,” ujar rahib.
Mirza duduk di emperan batu wat itu, menatap berkeliling. Sunyi tapi damai tempat itu.
Rahib kembali beberapa saat kemudian, dengan seember plastik air hangat dan dedaunan berikut alat penumbuk dari batu. Ia minta Mirza melepas balutan lukanya. Rahib menyeka luka itu dengan sabar. Terasa ada ribuan sengatan ketika kain basuh menyeka luka itu. Ia baru tahu kain pembalut itu hampir seluruhnya memerah.
“Bagaimana kau bisa dapat luka ini? Berkelahi?” tanya Rahib.
“Tidak. Saya dapat sayatan parang ketika menyelamatkan seorang perempuan dari beberapa orang yang menculik perempuan itu,” jelas Mirza.
“Oh, sungguh heroik. Dan siapa perempuan itu?”
“Seorang perempuan yang saya cintai, guru bahasa Thai saya di Chiang Mai”