Sebenarnya, masalah, ujian, atau tantangan adalah hal biasa. Bukan manusia jika tanpa masalah. Bentuk, tipe, durasi, dan kompleksitasnyalah yang membedakannya. Masalah perlu dihadapi, diambil pelajarannya, dan dicarikan solusinya. Â Diperlukan pemahaman yang baik, tepat, dan lengkap atas masalahnya. Baru kemudian dicarikan potensi solusinya. Meskipun demikian, untuk memecahkan masalah, diperlukan ketenangan dan kehati-hatian.
Justru Menjadi Masalah
Dari tayangan video-video di channel-channel discovery, wild-life, national geographic, animal planet, dan BBC earth, dapat dilihat betapa senang, ceria, dan lincahnya Wildebeest, Antelope, dan Gazel ketika berlarian, berlompatan, mencari makan, dan bercengkrama di padang rumput Taman Nasional Afrika. Tidak nampak rasa takut mereka ketika para reporter, peneliti, dan turis mendekat. Demikian pula ketika kamera mengarah pada posisi mereka. Sebagian dari mereka bahkan mendekat karena keingintahuannya. Mengapa demikian? Sebab, para pengunjung tidak mengagetkan dan mengganggu mereka. Itulah kesan yang didapat dari tayangan tersebut.
Seandainya ketiga spesies itu diberi akal hingga mampu berpikir dan berkesadaran, maka kehidupan mereka akan berubah seketika; masalah segera menghampiri mereka. Mengapa? Sebab, dengan kemampuan berpikirnya itu, mereka akan mendapatkan ilmu dan kesadaran! Dengan itu semua, mereka akan menyadari bahwa kehidupannya selalu terancam. Apa tidak stres?
Bagaimana tidak, setiap kali hendak makan di padang rumput, beberapa binatang buas (Python, Singa, Heyna, Cheetah, dan Leopard) sudah menantinya; ketika kehausan hendak minum di tepi sungai, Buaya siap menyergapnya; dan ketika hendak tidur, segerombolan anjing hutan siap memangsanya. Belum lagi hadirnya para pemburu yang memang sengaja mengincar ketiga spesies ini karena dagingnya yang lezat. Jadi, sebenarnya, ketiga hewan itu hidup di tempat yang sangat mengerikan! Tantangan untuk survive dan ancaman kematian silih-berganti setiap saat. Tetapi apakah karenanya mereka selalu gelisah, stres, terbebani, berbadan kurus, dan menderita sebelum kematiannya? Tidak bahagia kah mereka?
Hewan & Jebakan Umpan Manusia
Selain ketiga spesies hewan di atas, tentu saja masih sangat banyak spesies lain yang hidup di dunia ini. Sebagai misal, sekelompok ikan dan belut. Kedua spesies ini sebenarnya dapat hidup leluasa di alam ini dengan ketersediaan berbagai makanan yang melimpah tanpa "pemberian" manusia. Tetapi mengapa mereka terkadang harus memakan umpan kecil (yang tidak seberapa nilai dan rasanya) hingga akhirnya terkena jebakan (hingga mati dan dimakan) manusia? Tentu saja jawabannya tidak sekedar karena tidak diberi akal sama sekali. Pertanyaannya yang tersisa adalah, mengapa mereka (seolah) harus menguntungkan manusia dan bukan yang lain? Jadi, memang, pada kenyataannya, sebagian akibat dari tidak diberi akalnya hewan-hewan itu (baik itu dianggap sengaja atau tidak sengaja) adalah untuk menguntungkan (termasuk untuk memberi makan) manusia. Â Mereka "ditundukkan" untuk kepentingan manusia, selain tetap menjalankan tugas-tugas kesempatan hidup dan "keseimbangan" di dalam "sistem" dunia nyata ini.
Ironi Kesadaran & Keistimewaan Manusia
Memang, kematian yang sebenarnya (dimakan hewan pemangsa atau diburu manusia) adalah takdir yang tak terhindarkan; hanya masalah waktu saja. Tetapi, dengan pengetahuan dan kesadaran yang diandaikan mereka miliki itu, maka potensi "kematian" secara mental justru akan datang lebih dini. Mereka bisa mati prematur. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak diberi akal hingga tidak berpengetahuan dan berkesadaran. Itu demi kebaikan mereka sendiri, sesuai dengan misi hidup mereka masing-masing yang telah ditentukan.
Berdasarkan pengandaian di atas, bisa jadi, suatu kesadaran (pengetahuan) yang benar (realitas) sekalipun dapat mendatangkan masalah, penyesalan, ketidak-tenangan, kekawatiran, atau ketakutan. Itulah ironisnya kesadaran manusia; sebagian dari pengetahuan atau kesadaran justru dapat mendatangkan hal yang tidak diinginkan. Mereka tidak diberi akal sedikit pun hingga tetap dapat hidup dengan tenang, ceria, bahagia, dan menikmati hidup apa adanya. Jadi, sebaliknya, pada kasus-kasus tertentu, ketidak-tahuan, keluguan, ketidak-sadaran, atau kelupaan justru dapat menenangkan atau menentramkan. Rasa-rasa kecemasan, penyesalan, dan ketakutan adalah ciri khas manusia; adanya unsur-unsur pemikiran atau sudut pandang manusia.
Sebagian dari akibat tidak diberi akalnya hewan-hewan adalah keuntungan besar bagi manusia. Hal ini jelas sekali terlihat dari fakta-faktanya; perhatikan kaidah "follow the money" (siapa yang diuntungkan). Jika saja hewan-hewan diberi akal, maka hewan-hewan ini justru akan mengalami stres dan cenderung akan mati lebih cepat, sementara sebagian besar dari sumber makanan manusia akan hilang; semuanya susah. Oleh sebab itu, manusia memang telah disengaja dijadikan sebagai "puncak" rantai makanan (penguasa/pengatur) yang sebenarnya di bumi ini; bukan singa, harimau, atau raja hutan.Â
Manusia adalah "raja" yang sebenarnya. Sumber-sumber makanan dan minumannya harus terjaga dengan baik dengan mekanisme yang berjalan di bumi. Fakta-fakta "halus" ini menunjukkan bahwa manusia memang (sengaja) diistimewakaan di bumi ini. Yang Maha Pencipta telah (begitu) "berpihak" kepada manusia. Itulah mengapa mereka diberi akal dan tugas-tugas tertentu yang menyertainya. Pemberian akal tentu saja terkait dengan tugas-tugas penting, khusus, dan nyata yang harus dijalankannya di muka bumi ini.
Masalah & Akal Manusia
Kehidupan manusia tentu saja tidak seperti hewan-hewan itu. Manusia adalah makhluk yang berakal dan bernafsu. Dengan akalnya, manusia dapat berfikir, berkesadaran, menganalisa, berpengetahuan, berempati, berproses, bertoleransi, beradaptasi, dan mengendalikan nafsunya. Dengan akalnya, manusia dapat menjadi berbeda dengan hewan; hidupnya lebih baik, makmur, santun, tertib, teratur, dan bermartabat. Akal adalah karunia yang sangat luar biasa bagi manusia; pembeda hakiki antara manusia dan hewan.
Oleh sebab itu, manusia harus bertanggung jawab atas tugas-tugas dan anugerah akalnya; harus menggunakannya sesuai dengan peruntukkannya. Untuk itu, mereka wajib melindungi, memelihara, mendidik, dan mengembangkannya secara berkelanjutan dengan cara mendengar, melihat, membaca, belajar, bertanya, berlatih, bekerja, dan makan & minum yang halal dan yang baik-baik saja. Sebab, akal tidak dapat berkembang sendiri (secara otomatis) hingga sesuai harapan, sementara itu nafsunya (ironisnya) mampu berkembang secara mandiri seiring dengan waktu dan pengalaman hidupnya. Jika tidak dididik, bagaimana bisa akal manusia akan mengendalikan hawa nafsunya berikut masalah dan tantangan yang datang silih berganti.Â
Di lain pihak, sejak mulai dewasa, manusia memahami bahwa sebagian dari hidupnya merupakan tantangan, kewajiban, ujian, cobaan, atau masalah. Sejak itulah sebagian dari mereka mulai merasa iri kepada burung-burung yang bisa terbang bebas seolah tanpa beban dan kewajiban; bisa terbang kemana saja sekehendak hati. Mengapa? Ternyata, mereka mulai menemui masalah, malas mengeluh, dan terkena rayuan hawa nafsu. Sebagian dari itu cukup berat, mengganggu, dan melelahkan. Hidup manusia memang tidak lepas dari masalah. Ada akal & nafsu, berarti juga ada masalah. Fungsi utama akal adalah untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengendalikan hawa nafsu, masalah, dan tantangannya dengan benar.
Sebab-Sebab Manusia Bermasalah
Jika ditanyakan, mengapa manusia selalu bermasalah? Tentu saja, selain karena secara umum telah dikarunia akal dan nafsu, jawabannya akan beragam. Sebagian dari potensi jawaban itu adalah:Â
- untuk mendapatkan yang dibutuhkan, manusia perlu berusaha, bekerja, dan berproses, dan hal itu merupakan tantangan sekaligus masalah harian yang tidak semua manusia dapat bersyabar dengannya;Â
- manusia sering membandingkan dirinya dengan yang lain, atau membandingkan kondisinya saat ini dengan kondisinya pada saat-saat yang lain (hal ini mengundang pemikiran perbedaan antara harapan dan kenyataan);Â
- di dunia ini selalu terjadi perubahan, dan sebagian dari itu menuntut manusia untuk bertoleransi, berkompromi, dan beradaptasi, sementara tidak setiap manusia mampu melakukan itu dengan baik;Â
- hidup ini berisi banyak hal ketidak-pastian dan tidak setiap manusia mampu bertahan dalam kondisi itu;Â
- kehidupan dan lingkungan manusia memiliki kompleksitas yang sangat beragam, sementara tidak semua orang dapat memahaminya dengan baik dan lengkap, apalagi manusia cenderung bersifat parsial dan terbatas;Â
- manusia memiliki akal (kemampuan berfikir), tetapi tidak setiap manusia yang menggunakannya secara maksimal dan jujur dengan akalnya;Â
- manusia memiliki kebebasan dalam berpikir, memilih, dan bertindak. Oleh sebab itu, wajar saja jika sebagian manusia (pernah) bertindak salah (mengganggu sesamanya atau lingkungannya);Â
- manusia itu unik, oleh sebab itu, sangat mungkin memiliki pemikiran, pilihan, pendapat, keyakinan, kepentingan, dan kebutuhan yang berbeda (potensi terjadi gesekan, konflik, dan perselisihan);Â
- manusia dikelilingi oleh sumber-daya yang terbatas (potensi terjadi gesekan, perselisihan, persaingan, konflik kepentingan, dan peperangan);Â
- manusia cenderung berpandangan sempit, subjektif, dan parsial;Â
- karena cenderung pada nafsunya, terkadang, ia kurang bersyukur tetapi justru mengeluh (selalu merasa kurang) atas apa pun yang telah diperolehnya selama ini.Â
- dalam jangka waktu tertentu, manusia diberi tugas umum untuk "mengelola" atau "menata" bumi ini dengan baik, benar, dan harmonis. Tentu saja tugas-tugas ini memerlukan pemikiran (penggunaan akal) yang kuat, konsisten, menyeluruh, ketegasan, selain juga akan menghadapi tantangan dan masalah-masalah besar.Â
Dengan mempertimbangkan potensi-potensi jawaban ini, maka adalah wajar saja jika manusia selalu bermasalah.
Contoh-Contoh Masalah
Jika dihitung, akan ada banyak bentuk, ungkapan, model, tipe, katagori, tingkatan, kompleksitas, atau detil masalah manusia. Sekedar ilustrasi, berikut ini adalah beberapa contoh masalah:
- Sakit mata.
- Sakit perut karena baru saja makan rujak pedas.
- Si Adi patah kakinya hingga perlu dirawat selama 2 bulan. Akibatnya, ia tidak dapat mengikuti pelajaran dan ujian akhir.
- Pak Ismail bingung berat pagi ini dengan uangnya yang tersisa Rp. 100 ribu. Jika dijadikan modal dagang hari ini, maka keluarganya tidak dapat makan hari ini.
- Seorang presenter masih sakit gigi hingga sulit berbicara, padahal 30 menit lagi harus tampil membawa acara diskusi nasional.
- Suatu wilayah terancam krisis pangan parah, mayoritas petaninya miskin, kebijakan yang biasa diambil adalah import beras.
Kompleksitas Masalah
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dikatakan bahwa masalah dapat bersifat sederhana (mudah dipahami dan potensi solusinya pun mudah dicari), sedang, atau kompleks (tidak mudah dipahami dan solusinya pun sulit dicari). Contoh masalah sederhana adalah sakit perut. Pada kasus ini, masalahnya jelas dan sering dialami; referensinya banyak. Oleh sebab itu, solusinya pun jelas, tinggal memilih sesuai kondisinya: (1) jika sudah tidak ada waktu lagi dan tak sanggup menahannya, segeralah pergi ke toilet; (2) jika masih ada waktu dan masih sanggup menahan rasa itu, makanlah obat sakit perut; dan (3) jika terus-terusan sakit perut dalam periode tertentu, pergilah ke dokter untuk berkonsultasi dan berobat. Selain itu, hampir setiap orang sudah mengenal kelemahan tubuh sendiri. Masalah sederhana ini pada umumnya dapat ditindak-lanjuti sendiri, dengan resikonya sendiri, dan tidak perlu bahasan lebih lanjut.
Lain halnya dengan masalah yang tidak sederhana; kompleks, penting, berdampak luas & besar, dan menyangkut banyak pihak. Tipe masalah seperti ini tidak mudah untuk dipahami dengan segera dan kemudian diselesaikan secara tuntas. Apalagi jika masalahnya cukup berbelit, berefek samping, dan berkomplikasi hingga sebagian orang mengatakannya sebagai "lingkaran setan". Oleh sebab itu, pada masalah seperti ini, diperlukan formulasi yang baik.
Masalah Vs. Tantantan
Meskipun kebanyakan masalah berkonotasi negatif, ternyata tidak selalu demikian. Ada sisi atau episode dimana masalah juga disebut sebagai tantangan. Artinya, pada sisi itu, masalah merupakan tantangan (rutinitas) yang mau-tidak-mau harus dihadapi. Dengan kata lain, pada masalah terdapat unsur tantangan. Pada konteks ini, sederhananya, tantangan "ekivalen dengan" masalah.
Masalah, Istilah Sejenis, dan Makna-Maknanya
Pada konteks tertentu, sebagian orang lebih menyukai penggunaan istilah-istilah tantangan, ujian, cobaan, problem, persoalan, konflik, atau krisis ketimbang masalah. Dalam keseharian, istilah-istilah itu sering tertukar satu sama lainnya. Sebagian tidak bermasalah. Yang penting, maksudnya dapat dipahami. Dengan demikian, istilah masalah memiliki beberapa varian sesuai dengan sudut pandangnya.
Secara sederhana, masalah merupakan:
- Situasi, kondisi, suasana, keadaan, atau konstelasi yang dianggap sulit, tidak disukai, ingin dihindari, atau bahkan sudah berbahaya hingga perlu segera ditangani, diselesaikan, dan dibuatkan solusinya;
- Situasi/kondisi dimana terdapat perbedaan (gap yang signifikan) antara kenyataan dan harapan (yang diinginkan, ditargetkan, atau menjadi referensi).Â
- Tantangan yang perlu diungkapkan, dikerjakan, dilakukan, dipecahkan, atau dicarikan jawabannya; seperti halnya teka-teki, misteri, kasus, ujian, soal matematika, dan problem sosial;
- "Sistem" (yang terkadang) tersembunyi (faktor sebab) yang (diasumsikan telah, masih, atau akan) "bekerja" sedemikian rupa hingga menimbulkan gejala atau masalah turunan (faktor akibat) yang dianggap merugikan.
Berdasarkan makna-makna inilah, sebagian dari masalah menjadi wajar jika diformulasikan agar lebih mudah didiskusikan, dipahami, Â dikomunikasikan, dibuatkan solusinya, dan disebarkan.
Sifat Relatif pada Masalah
Terkadang, terdapat sifat relatif pada masalah. Dengan sifat ini, suatu masalah (hulu), di samping akan menyebabkan munculnya gejala, bisa jadi juga menyebabkan masalah turunan (hilir) di kemudian hari. Dengan demikian, masalah turunan setingkat dengan gejalanya. Karena setingkat, maka tidak mengherankan jika sebagian orang menganggap gejala sebagai (ekivalen dengan) masalah. Sebagai misal, karena (sering) terlambat makan, munculah gejala-gejala mengantuk, lemas, kurang berkonsentrasi, berkurangnya kemampuan berfikir, asam lambung meningkat, dan sakit kepala. Sehubungan dengan hal ini, sebagian orang menyebut sakit kepala sebagai penyakit (masalah) dan asam lambung meningkat juga disebut maag (masalah); bukan gejala. Jadi, dari contoh ini saja, sakit kepala dan maag (masalah turunan) akan setara dengan gejala (mengantuk, lemas, kurang konsentrasi, dan berkurangnya kemampuan berfikir). Seorang analis yang baik, setelah mengamati dan menganalisisnya dengan baik, tentu saja mampu mengenali urut-urutannya dari masalah (hulu) hingga ke gejala dan masalah turunannya (hilir).
Masalah, Gejala, dan Turunannya
Biasanya, masalah (hulu) akan menghasilkan gejala dan turunannya (hilir). Hal ini bersesuaian dengan kaidah kasus-kasus kriminal "tidak ada kejahatan (masalah) yang sempurna" (akan ada saja bukti/fakta [gejala] yang tertinggal di TKP baik sengaja mau pun tidak) dan "follow the money". Selain itu, hal itu juga sesuai dengan peribahasa "tiada asap tanpa api"; api (ekivalen dengan) masalah, dan asap (ekivalen dengan) gejala.
Gejala adalah faktor akibat atau apa saja (fakta, kenyataan, kejadian, kenampakkan, atau peristiwa) yang dapat dilihat, dirasakan, dicium, didengar, dan/atau diamati. Gejala adalah hal biasa dan wajar terjadi; tidak harus bersifat luar biasa, jarang, istimewa, aneh, langka, mengagumkan, dan ekstrim. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa buah durian yang jatuh dari pohonnya, nangisnya seorang anak, naiknya harga minyak goreng, tutupnya supermarket besar, tersebarnya berita bohong, perubahan prilaku konsumen, kenaikan suhu udara, kenaikan tinggi rata-rata muka air laut, dan jatuhnya komet juga merupakan suatu gejala.
Jangan Takut, Menghindar, dan Mencari Masalah
Akal, pada konteks tertentu, akan disandingkan dengan masalah/tantangan yang datang silih-berganti. Oleh sebab itu, janganlah takut pada masalah jika situasinya tidak sangat merugikan, menyulitkan, atau membahayakan. Meskipun demikian, seandainya bisa, demi kebutuhan atau strategi tertentu, kita masih dapat memilih masalah yang akan dihadapi; menghindari yang satu dan menghadapi yang lain pada saat yang sama.
Manusia mengalami proses pembelajaran bersama dengan masalahnya. Masalah adalah partner sejati bagi manusia dalam berkembang dan mendewasa. Jadi, keberadaan masalah seharusnya melatih sekaligus menjadikan otak dan otot manusia menuju ke tingkatan yang lebih baik secara bertahap; demi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Jadi, keberadaan masalah, seharusnya, menyebabkan manusia menjadi lebih sabar, cerdas, bijak, dewasa, dan berkelanjutan. Akal akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan tantangan dan masalah yang terselesaikannya.
Selain mendatangkan manfaat, di sisi lain, masalah juga menyebabkan manusia menjadi lemah, lelah, letih, lesu, pusing, stres, sakit, kecewa, dan juga susah; kehilangan banyak waktu, tenaga, pikiran, emosi, dan biaya. Tentu saja hal memerlukan refresing, hiburan, liburan, traveling, atau proses penyembuhan hingga residu negatifnya dapat diminimalisir dan kemudian sehat dan segar kembali (siap menghadapi masalah berikutnya). Dengan demikian, jika sekiranya tidak sangat diperlukan, tidak demi mencapai cita-cita yang mulia, atau manfaatnya tidak signifikan, maka janganlah mencari masalah atau melayani setiap tantangan yang ada, meskipun sebenarnya kita mampu. Anjurannya, hadapilah yang wajib-wajib saja terlebih dahulu, dan pilihlah mana saja yang sekiranya akan membawa kebaikan. Kebanyakan manusia sudah repot dengan masalah yang ada, maka berhematlah dengan waktu, tenaga, kesehatan, dan emosi masing-masing.
Durasi/Siklus Masalah
Pada dasarnya, banyak faktor yang menyebabkan tidak terekamnya suatu gejala dengan akurat dan lengkap. Kemungkinannya, justru lebih banyak gejala yang tidak teramati dari pada yang teramati. Tentu saja, sebagian gejala dapat terlihat tetapi bisa saja tidak sempat tercatat atau terekam. Hal ini dapat disebabkan karena alat perekamnya yang tidak terbawa, kelangkaan gejalanya, durasinya terlalu singkat (cepat berlalu), atau justru siklus (lengkapnya) yang panjang hingga tidak teramati secara tuntas. Jadi, jika durasinya saja cukup ekstrim, maka para pengamat cenderung hanya akan mendapatkan kepingan-kepingan gejalanya saja secara parsial, sedikit-demi-sedikit, atau sepotong-demi-sepotong; kemungkinan tidak representatif. Oleh karena itulah manusia memerlukan alat bantu, alat ukur, sensor-sensor, atau sistem untuk merekamnya.
Yang jelas, jika gejalanya saja tidak teramati dengan benar (datanya masih mengandung kesalahan) dan tidak lengkap, maka masalahnya tidak akan teridentifikasi dan terpahami dengan benar. Sebagai ilustrasi, perhatikan, pekerjaan-pekerjaan mengeringkan, mengepel, dan menyapu lantai (masalah-masalah turunan/hilir) masih harus terus dikerjalan (berkelanjutan) selama gentengnya bocor, sering kedapatan kucing dan tikus bersembunyi di atap rumah (para), dan/atau eternitnya bolong/retak (keberadaan masalah-masalah hulu yang mungkin belum teridentifikasi dan teratasi), di samping karena adanya sebab-sebab lainnya (anak-anak bermain, buang sampah sembarangan, debu yang berterbangan, angin yang bertiup, dan lain sejenisnya).Â
Keserupaan Gejala & Komplikasi
Pada dasarnya, suatu masalah bisa jadi menyebabkan munculnya lebih dari satu gejala. Dengan demikian, suatu masalah belum tentu dapat teridentifikasi berdasarkan pengamatan terhadap satu gejala saja; setiap gejalanya perlu diamati secara cermat. Selain itu, bisa jadi, suatu masalah memiliki gejala-gejala yang serupa dengan masalah yang lain. Sebagai misal, demam berdarah (DB) memiliki beberapa gejala yang serupa dengan tipes (demam tifoid) hingga tidak mudah mengidentifikasinya di masa awalnya; diagnosa sebagian orang keliru. Sementara flue dan Covid-19 juga demikian. Flue memiliki beberapa gejala umum seperti: demam, batuk, pilek, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit kepala, badan lemah, dan kurang nafsu makan. Sedangkan Covid-19 bergejala demam, batuk, sesak nafas, badan lemah, mudah lelah, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit kepala, berkurangnya rasa penciuman, sedikit diare, dan lain sejenisnya.
Pada kasus terdapat lebih dari satu masalah (penyakit) pada saat yang sama, misalkan flue dan Covid-19, maka tugas para analisnya semakin berat; masalah hulunya lebih dari satu dan gejala umumnya mirip. Yang lebih berat lagi adalah jika masalah-masalah hulunya telah berkomplikasi hingga menghasilkan gejala baru di samping gejala umumnya. Berdasarkan observasi terhadap gejala-gejala yang muncul, akan berhasilkah para analisnya mengidentifikasi semua penyakit hulunya dengan benar? Itu baru masalah hulu penyakit fisik. Bagaimana dengan masalah-masalah yang bersifat abstrak atau di bidang-bidang mental/psikis, ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, dan lain sejenisnya yang juga memiliki lebih dari satu gejala, keserupaan gejala antar-masalah, masalah turunan (hilir), dan kemungkinan komplikasi gejala? Tentu saja masalah-masalahnya akan lebih sulit lagi diuraikan, apalagi diberikan solusinya.
Berdasarkan kemungkinan keserupaan gejala dan komplikasi masalahnya, apalagi jika terdapat lebih dari satu masalah di hulunya, maka wajar saja jika terdapat kesalahan-kesalahan pada hasil analisis, identifikasi, atau diagnosa (pemahaman) terhadap masalahnya. Masalahnya akan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H