Mohon tunggu...
Eddy Prahasta
Eddy Prahasta Mohon Tunggu... Insinyur - Karyawan

Saya tertarik dengan masalah sosial; contoh kasusnya banyak, bervariasi, dan muncul setiap hari. Memahami masalah ini adalah dayatarik tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Akal, Kesadaran, dan Masalah Manusia

20 Mei 2024   14:33 Diperbarui: 26 Mei 2024   05:58 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebenarnya, masalah, ujian, atau tantangan adalah hal biasa. Bukan manusia jika tanpa masalah. Bentuk, tipe, durasi, dan kompleksitasnyalah yang membedakannya. Masalah perlu dihadapi, diambil pelajarannya, dan dicarikan solusinya.  Diperlukan pemahaman yang baik, tepat, dan lengkap atas masalahnya. Baru kemudian dicarikan potensi solusinya. Meskipun demikian, untuk memecahkan masalah, diperlukan ketenangan dan kehati-hatian.

Justru Menjadi Masalah

Dari tayangan video-video di channel-channel discovery, wild-life, national geographic, animal planet, dan BBC earth, dapat dilihat betapa senang, ceria, dan lincahnya Wildebeest, Antelope, dan Gazel ketika berlarian, berlompatan, mencari makan, dan bercengkrama di padang rumput Taman Nasional Afrika. Tidak nampak rasa takut mereka ketika para reporter, peneliti, dan turis mendekat. Demikian pula ketika kamera mengarah pada posisi mereka. Sebagian dari mereka bahkan mendekat karena keingintahuannya. Mengapa demikian? Sebab, para pengunjung tidak mengagetkan dan mengganggu mereka. Itulah kesan yang didapat dari tayangan tersebut.

Seandainya ketiga spesies itu diberi akal hingga mampu berpikir dan berkesadaran, maka kehidupan mereka akan berubah seketika; masalah segera menghampiri mereka. Mengapa? Sebab, dengan kemampuan berpikirnya itu, mereka akan mendapatkan ilmu dan kesadaran! Dengan itu semua, mereka akan menyadari bahwa kehidupannya selalu terancam. Apa tidak stres?

Bagaimana tidak, setiap kali hendak makan di padang rumput, beberapa binatang buas (Python, Singa, Heyna, Cheetah, dan Leopard) sudah menantinya; ketika kehausan hendak minum di tepi sungai, Buaya siap menyergapnya; dan ketika hendak tidur, segerombolan anjing hutan siap memangsanya. Belum lagi hadirnya para pemburu yang memang sengaja mengincar ketiga spesies ini karena dagingnya yang lezat. Jadi, sebenarnya, ketiga hewan itu hidup di tempat yang sangat mengerikan! Tantangan untuk survive dan ancaman kematian silih-berganti setiap saat. Tetapi apakah karenanya mereka selalu gelisah, stres, terbebani, berbadan kurus, dan menderita sebelum kematiannya? Tidak bahagia kah mereka?

Hewan & Jebakan Umpan Manusia

Selain ketiga spesies hewan di atas, tentu saja masih sangat banyak spesies lain yang hidup di dunia ini. Sebagai misal, sekelompok ikan dan belut. Kedua spesies ini sebenarnya dapat hidup leluasa di alam ini dengan ketersediaan berbagai makanan yang melimpah tanpa "pemberian" manusia. Tetapi mengapa mereka terkadang harus memakan umpan kecil (yang tidak seberapa nilai dan rasanya) hingga akhirnya terkena jebakan (hingga mati dan dimakan) manusia? Tentu saja jawabannya tidak sekedar karena tidak diberi akal sama sekali. Pertanyaannya yang tersisa adalah, mengapa mereka (seolah) harus menguntungkan manusia dan bukan yang lain? Jadi, memang, pada kenyataannya, sebagian akibat dari tidak diberi akalnya hewan-hewan itu (baik itu dianggap sengaja atau tidak sengaja) adalah untuk menguntungkan (termasuk untuk memberi makan) manusia.  Mereka "ditundukkan" untuk kepentingan manusia, selain tetap menjalankan tugas-tugas kesempatan hidup dan "keseimbangan" di dalam "sistem" dunia nyata ini.

Ironi Kesadaran & Keistimewaan Manusia

Memang, kematian yang sebenarnya (dimakan hewan pemangsa atau diburu manusia) adalah takdir yang tak terhindarkan; hanya masalah waktu saja. Tetapi, dengan pengetahuan dan kesadaran yang diandaikan mereka miliki itu, maka potensi "kematian" secara mental justru akan datang lebih dini. Mereka bisa mati prematur. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak diberi akal hingga tidak berpengetahuan dan berkesadaran. Itu demi kebaikan mereka sendiri, sesuai dengan misi hidup mereka masing-masing yang telah ditentukan.

Berdasarkan pengandaian di atas, bisa jadi, suatu kesadaran (pengetahuan) yang benar (realitas) sekalipun dapat mendatangkan masalah, penyesalan, ketidak-tenangan, kekawatiran, atau ketakutan. Itulah ironisnya kesadaran manusia; sebagian dari pengetahuan atau kesadaran justru dapat mendatangkan hal yang tidak diinginkan. Mereka tidak diberi akal sedikit pun hingga tetap dapat hidup dengan tenang, ceria, bahagia, dan menikmati hidup apa adanya. Jadi, sebaliknya, pada kasus-kasus tertentu, ketidak-tahuan, keluguan, ketidak-sadaran, atau kelupaan justru dapat menenangkan atau menentramkan. Rasa-rasa kecemasan, penyesalan, dan ketakutan adalah ciri khas manusia; adanya unsur-unsur pemikiran atau sudut pandang manusia.

Sebagian dari akibat tidak diberi akalnya hewan-hewan adalah keuntungan besar bagi manusia. Hal ini jelas sekali terlihat dari fakta-faktanya; perhatikan kaidah "follow the money" (siapa yang diuntungkan). Jika saja hewan-hewan diberi akal, maka hewan-hewan ini justru akan mengalami stres dan cenderung akan mati lebih cepat, sementara sebagian besar dari sumber makanan manusia akan hilang; semuanya susah. Oleh sebab itu, manusia memang telah disengaja dijadikan sebagai "puncak" rantai makanan (penguasa/pengatur) yang sebenarnya di bumi ini; bukan singa, harimau, atau raja hutan. 

Manusia adalah "raja" yang sebenarnya. Sumber-sumber makanan dan minumannya harus terjaga dengan baik dengan mekanisme yang berjalan di bumi. Fakta-fakta "halus" ini menunjukkan bahwa manusia memang (sengaja) diistimewakaan di bumi ini. Yang Maha Pencipta telah (begitu) "berpihak" kepada manusia. Itulah mengapa mereka diberi akal dan tugas-tugas tertentu yang menyertainya. Pemberian akal tentu saja terkait dengan tugas-tugas penting, khusus, dan nyata yang harus dijalankannya di muka bumi ini.

Masalah & Akal Manusia

Kehidupan manusia tentu saja tidak seperti hewan-hewan itu. Manusia adalah makhluk yang berakal dan bernafsu. Dengan akalnya, manusia dapat berfikir, berkesadaran, menganalisa, berpengetahuan, berempati, berproses, bertoleransi, beradaptasi, dan mengendalikan nafsunya. Dengan akalnya, manusia dapat menjadi berbeda dengan hewan; hidupnya lebih baik, makmur, santun, tertib, teratur, dan bermartabat. Akal adalah karunia yang sangat luar biasa bagi manusia; pembeda hakiki antara manusia dan hewan.

Oleh sebab itu, manusia harus bertanggung jawab atas tugas-tugas dan anugerah akalnya; harus menggunakannya sesuai dengan peruntukkannya. Untuk itu, mereka wajib melindungi, memelihara, mendidik, dan mengembangkannya secara berkelanjutan dengan cara mendengar, melihat, membaca, belajar, bertanya, berlatih, bekerja, dan makan & minum yang halal dan yang baik-baik saja. Sebab, akal tidak dapat berkembang sendiri (secara otomatis) hingga sesuai harapan, sementara itu nafsunya (ironisnya) mampu berkembang secara mandiri seiring dengan waktu dan pengalaman hidupnya. Jika tidak dididik, bagaimana bisa akal manusia akan mengendalikan hawa nafsunya berikut masalah dan tantangan yang datang silih berganti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun