Definisi kota, menurut Louis Wirth dikutip Antariksa (2015), adalah suatu permukiman permanen yang cukup besar dan padat dari individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Faktor permukiman dan penduduk sangat dominan dalam tata laku kehidupan kota. Pada kenyataannya, arsitektur di kota mengekspresikan ketertutupan jiwa manusia. Kemampuan seseorang menghayati ruang di sekelilingnya (space perceivised) memberikan tekanan balik kepada kemampuan tanggapnya. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa pola bentuk fisik kota dari lingkungan memberi andil “menciptakan” nilai-nilai dalam masyarakat. Maka tak salah bila sebuah kota yang semrawut dan tanpa identitas akan menghasilkan masyarakat yang sakit.
[caption caption="VANDALISME - Inilah hasil 'karya' vandalisme yang mengotori fasilitas di Taman Kolam Batam Centre. Foto diambil Selasa, 29 September 2015. (Foto: Eddy Mesakh)"]
Merujuk tema Hari Habitat Dunia (HHD) 2015; Public Spaces for All atau ruang publik untuk semua, maka kota sebagai habitat manusia harus layak dan mampu memanusiakan manusia. Ketika melakukan rekayasa terhadap habitat itulah para perencana dan pengelola kota wajib tak boleh mengabaikan kepentingan rakyat banyak/publik.
Seperti falsafah Sam Ratulangi di atas, maka para pengelola kota belum disebut manusia bila tak mampu menggunakan tanggungjawabnya untuk memanusiakan manusia-manusia yang telah memercayakan mereka sebagai pemimpin. Dia semakin gagal menjadi manusia manakala tak peduli pada tataguna lahan serta tidak patuh pada tata ruang kota yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang maupun peraturan daerah. Lihatlah sebagian besar kota-kota di Indonesia, di mana ruang-ruang publik diserobot untuk kepentingan komersil dan privat. Ruang terbuka hijau dijadikan pusat pertokoan, trotoar dijadikan lahan parkir dan tempat pedagang kaki lima membuka lapak, papan reklame berisi iklan produk maupun foto wajah para politisi menyeruak merusak pemandangan, dan sebagainya.
[caption caption="IKLAN - Pemasangan iklan seperti ini persis di persimpangan jalan sangat mengganggu pandangan pengemudi. (Foto: Eddy Mesakh)"]
Kendati penyediaan ruang publik seolah-olah hanya merupakan tanggungjawab pemerintah, sesungguhnya juga menjadi tanggungjawab kita bersama sesuai porsi masing-masing. Kita tak bisa seenaknya menyerobot ruang publik menjadi ruang privat. Misalnya si kaya yang pengusaha itu berkolusi dengan penguasa lalu mendapat izin membangun bisnisnya di area yang seharusnya diperuntukan sebagai ruang publik (terjadi alih fungsi lahan). Atau si miskin yang berjuang demi mempertahankan hidup nekat mendirikan lapak kaki lima di area-area yang semestinya terlarang untuk kegiatan berjualan.
Perilaku merusak atau corat-coret fasilitas umum dan membuang sampah sembarangan juga termasuk sikap tak bertanggungjawab yang merampas kenyamanan manusia lain di ruang publik.
Ruli dan taman kota
Dahulu, sebelum tahun 1970-an, Batam hanyalah sebuah pulau kecil, sepi, dan habitat nyaman bagi monyet. Kini, Batam telah menjadi sebuah kota industri nan maju dan modern. Tetapi, seiring kemajuan itu, semakin banyak terjadi alih fungsi lahan ke arah komersialisasi serta penyerobotan lahan oleh para pemukim liar.
Para pemukim liar adalah penghuni “ruli” alias rumah liar yang tersembunyi di balik rimbunan pepohonan. Beberapa area yang dari luar tampak seperti hutan kota, ternyata di dalamnya terdapat ratusan ruli tersebut. Lingkungannya kumuh sehingga kurang memenuhi syarat sebagai hunian sehat. Tak semua penghuni ruli merupakan kaum miskin dan marjinal. Di antaranya terdapat pula orang-orang cukup mampu yang memiliki mobil pribadi.
[caption caption="RULI - Beginilah lingkungan pada sebuah kompleks rumah liar atau ruli di Batam Centre. (Foto: Eddy Mesakh)"]