Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beban Itu Terlalu Berat

27 Juli 2021   21:50 Diperbarui: 28 Juli 2021   13:45 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Opti masih berjalan, langkahnya gontai terayun di pinggiran jalan beraspal. Tak ada dipikirannya, berapa ribu sudah jejak kaki yang terhempas di aspal jalanan di Desanya selama ini. 

Desa itu cukup besar dibanding desa seukuran nya yang terletak di wilayah lain. Tetapi ada kelebihan lain, sebuah jalan raya beraspal membelah ditengah Desa, membuat Desa itu menjadi hidup secara ke-ekonomian. 

Sebuah jalan Provinsi yang berhubungan dengan Provinsi lainnya, lalu ditebari beberapa jalur jalan kelas tiga di kiri-kanannya yang membelah sampai ketepian batas kampung-kampung. 

Semenjak jalan raya dibangun. Kemajuan drastis terjadi di sejumlah penduduk yang rumahnya si pinggir jalan. 

Warga memanfaatkan hadirnya jalan itu sebagai pembuka rezeki. Mereka membuka warung bensin, warung makan, tambal ban dll. 

Tetapi Opti tak ikut dalam kesibukan itu. Dia bekerja di sebuah kota kecil yang cukup jauh dari Desa, di sebuah pabrik kecil yang memproduksi kebutuhan lokal. 

Dahulu, sebelum jalan raya itu dibangun. Opti menginap di barak kepunyaan pabrik dan pulang dua pekan sekali. Berkat hadirnya jalan raya itu Opti bisa pulang setiap hari. 

Sekonyong, virus bedebah itu muncul dan menebar wabah. Setahun, Opti masih bisa berjalan tegak walau terlihat sedikit limbung. 

Di tahun pertama pandemi, Pabrik tempatnya bekerja masih bisa beroperasi. Tetapi, diawal tahun berikutnya terpaksa tutup permanen karena dampak pandemi yang terlalu berat. 

Pontang-panting, Opti berusaha memenuhi kebutuhan hidup tiga nyawa dirumah kecilnya. Ibunya yang lansia, serta seorang anak dan isterinya. 

Septi tak menolak setiap kerja, menjadi kenek tukang pembuatan rumah, pembersih kebun, atau apa saja. Yang penting keluarganya masih bisa mengisi perut. 

Malang tak dapat ditolak, rezeki tak dapat diraih. Opti juga tak mampu menolak situasi yang seolah mencampakannya  ketitik nadir. 

Orang lebih ketat mengeluarkan uangnya. Karena wabah diperkirakan masih akan berlama-lama. Mereka mencoret pengeluaran yang dianggap tak perlu. 

Sekarang Opti lebih banyak bermenung. Lelaki itupun tak hirau lagi pada tiga nyawa dirumahnya. Dia juga bersikap seolah masa-bodo, saat setiap hari, tetangga sekitar berinisiatif mengirim makanan kerumahnya. 

Sampai akhirnya, bagai sebuah ritual, Opti sering menggelandang dan berjalan menelusuri jalan. 

Para warga cuma mampu mengurut dada melihat kehadiran Opti yang kini asetiap hari tak pernah absen mengayun langkah. 

Tak ada rasa heran yang muncul di wajah mereka. Mereka pun cuma mampu melontarkan pandang penuh kemakluman, pada penampilan Opti yang kian lama kian lusuh dan kumal. 

Sebelumnya, Opti masih bisa melepas senyum jika ada yang menegurnya. Serta diwajahnya pun masih tersisa rona malu yang sesekali terlontar membias semu. 

Tetapi sekarang, semua sudah berubah total, berbalik seratus delapan puluh derajat. Dari mulut Opti kerap terlontar umpatan dan makian. Terkadang kedua bolamatanya ikut mendelik liar mengiring lompatan suara dari belahan bibirnya. 

Tidak hanya itu, keliaran Opti makin ke belakang dinilai makin meresahkan. Dia tidak mengganggu orang, malah sebaliknya, dia malah membahayakan dirinya sendiri. 

Pernah sekali waktu, sebuah Truk pembawa barang nyaris celaka. Karena secara mendadak Opti melompat dan membentang lebar kedua tangannya didepan mobil yang sedang melaju. 

Di lain waktu, lelaki itu berbaring ditengah jalan. Seolah menantang setiap kendaraan yang masih diperbolehkan lewat. 

Suatu hari, Opti secara persuasif diseret ke Balai Desa. Sudah hadir di ruang yang cukup luas itu, beberapa aparat desa. 

Seorang yang tampaknya adalah Kepala Desa. Membelai ribut dikepala Opti. Belaian itu disambut sebuah dengusan mendesis dari Opti. 

" Kita tak bisa lagi membiarkan Opti berkeliaran seperti biasa. " ujar Kepala Desa. 

" Ya lebih baik dia dirawat di Panti ODGJ ketimbang tertabrak Truk yang melaju" selak satu diantara yang hadir di Balai. 

Sang Kepala Desa melihat Jam besar yang menempel di tembok dinding Balai, " Mungkin sebentar lagi kendaraan dari panti ODGJ sudah sampai. Mereka akan langsung membawa Opti ke Kota. "  katanya sambil melempar pandang ke setiap wajah di dalam Balai. 

" Tulis namanya di papan itu. " kembali Kepala Desa berkata kepada seseorang. Sepertinya wakil kepala Desa. 

Orang  itu langsung melangkah  menuju tempat dimana sebuah papan tulus besar menempel pada dinding tembok. 

Pada papan tulis itu, terdapat deretan angka yang dibubuhi sebuah nama disetiap angka. Nama Opti ditorehkan didepan angka sembilan belas. 

17    : Bebas. 

18   : Harapan. 

19  : Optimis. 

20  : *******

Tiba-tiba Opti berontak, matanya berputaran liar disertai desis yang keluar dari mulutnya. Tetapi pegangan kuat dari petugas Panti Opti tak bisa berbuat sesuatu. 

Kembali Kepala Desa membelai rambut di kepala Opti. " Maafkan kami Optimis, situasi semakin berat dan membuat kami tak berdaya lagi untuk mempertahankan kehadiranmu di Desa kita ini. Semoga kau lekas sembuh seperti sedia kala. " 

Petugas dari Panti memberi kode pada sangat Kepala Desa. Rupanya dia akan segera membawa Optimis ke mobil pengangkut ODGJ. 

" Semoga angka dua puluh yang kosong itu tak lbakal terisi korban selanjutnya. Dan bapak Optimis ini adalah korban terakhir dari dampak pandemi ini. " ujarnya pada Kepala Desa sambil menyeret lembut Opti menuju mobil. 

" Amin, amin semoga demikian lah adanya" sambut Kepala Desa amat perlahan dan nyaris tak terdengar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun