Malang tak dapat ditolak, rezeki tak dapat diraih. Opti juga tak mampu menolak situasi yang seolah mencampakannya  ketitik nadir.Â
Orang lebih ketat mengeluarkan uangnya. Karena wabah diperkirakan masih akan berlama-lama. Mereka mencoret pengeluaran yang dianggap tak perlu.Â
Sekarang Opti lebih banyak bermenung. Lelaki itupun tak hirau lagi pada tiga nyawa dirumahnya. Dia juga bersikap seolah masa-bodo, saat setiap hari, tetangga sekitar berinisiatif mengirim makanan kerumahnya.Â
Sampai akhirnya, bagai sebuah ritual, Opti sering menggelandang dan berjalan menelusuri jalan.Â
Para warga cuma mampu mengurut dada melihat kehadiran Opti yang kini asetiap hari tak pernah absen mengayun langkah.Â
Tak ada rasa heran yang muncul di wajah mereka. Mereka pun cuma mampu melontarkan pandang penuh kemakluman, pada penampilan Opti yang kian lama kian lusuh dan kumal.Â
Sebelumnya, Opti masih bisa melepas senyum jika ada yang menegurnya. Serta diwajahnya pun masih tersisa rona malu yang sesekali terlontar membias semu.Â
Tetapi sekarang, semua sudah berubah total, berbalik seratus delapan puluh derajat. Dari mulut Opti kerap terlontar umpatan dan makian. Terkadang kedua bolamatanya ikut mendelik liar mengiring lompatan suara dari belahan bibirnya.Â
Tidak hanya itu, keliaran Opti makin ke belakang dinilai makin meresahkan. Dia tidak mengganggu orang, malah sebaliknya, dia malah membahayakan dirinya sendiri.Â
Pernah sekali waktu, sebuah Truk pembawa barang nyaris celaka. Karena secara mendadak Opti melompat dan membentang lebar kedua tangannya didepan mobil yang sedang melaju.Â
Di lain waktu, lelaki itu berbaring ditengah jalan. Seolah menantang setiap kendaraan yang masih diperbolehkan lewat.Â