Ada hal serius yang dibicarakan Genta saat kami pergi meninggalkannya sendiri di tepi sungai. Terlihat dari gerak gerik dan raut wajahnya ketika menelpon seseorang. Tampaknya lelaki ini menyimpan rahasia yang tak boleh diketahui kami. Hingga pembicaraannya dengan orang dibalik telpon itu baru dilakukannya setelah kami menjauh.
"Rud, coba kamu liat Genta. Gerak geriknya mencurigakan. Aku berani taruhan kalau sebenarnya dia tadi berbohong pada kita tentang jati dirinya."
"Pikirku pun begitu. Mana ada pengambil kayu bakar berdandan layaknya orang yang mau pergi jalan jalan."
"Jadi apa perlu kita ikuti dia diam diam?"
"Bisa juga. Yuk!" Kutarik tangan Rudi untuk bersembunyi diantara semak sekitar.
*****
Semilir angin membawa bunyi riak air sungai terdengar hingga ke telinga. Kami pun mulai hening untuk menyamarkan keberadaan kami. Diantara semak belukar tepi lembah curam lah kami bersembunyi. Agar lebih mudah mengamati gerak gerik Genta tanpa terlihat.
"Loh, Genta sudah pergi. Kemana dia? Bukankah jalur satu satunya untuk keluar dari sungai lewat sini?" Rudi berbisik sambil celingak celinguk ke arah sungai.
"Dia memang lelaki misterius. Seperti setan aja. Cepat betul menghilangnya."
"Ihhhh... jangan jangan dia memang setan. Kita pulang aja. Cepetan!" Rudi tampak ketakutan.
Aku melangkah gontai. Tak habis pikir, kemana Genta tadi pergi. Aku berharap masih bisa bertemu lagi dengannya. Banyak hal misteri yang mungkin saja dapat kami pecahkan melalui seorang Genta.
"Rud, kamu duluan aja ke base camp, ya. Aku ada janji dengan Wati."
"Cie... cie... yang lagi kangen." Rudi menggodaku.
"Husss. Ini urusan rencana perjalanan kita ke hutan besok yang kuceritakan padamu dan teman teman tadi malam."
"Betulan dia mau ngantarin kita?"
"Makanya kupastikan lagi hari ini."
"Oke." Rudi mengacungkan jempolnya.
Kami pun berpisah dipertigaan jalan. Rudi pulang sedangkan aku menuju rumah Wati dengan semangat. Padahal perutku terasa lapar. Namun semua sudah lenyap sejak rasa penasaranku tadi berkembang lagi.
*****
"Assalamualaikum...."
"Waalaikumussalam. Duduk dulu, Bud?"
Wati munculkan setengah paras cantiknya dari tembok samping rumahnya. Mungkin dia baru saja selesai mencuci dan menjemur pakaian. Mungkin pakaiannya basah dan tak karuan. Ah, banyak kemungkinan kemungkinan yang berkembang di otakku sejak di sungai tadi. Aku pun menghempaskan tubuhku di bale bale bambu yang sejak tadi begitu menggodaku. Kurebahkan sejenak ragaku yang letih sebab perjalanan dari sungai tadi.
"Aku mau bicarakan kesediaanmu mengantar kami ke hutan besok." To the point kukatakan pada Wati sewaktu dia muncul dari balik pintu sambil membawa segelas Limus dan jagung rebus.
"Serius?"
"Ya serius lah. Kamu kira aku becanda?"
Wati tertawa. Sumpah, dia terlihat semakin manis saja. Bibirnya yang tipis terbuka memperlihatkan barisan gigi rapinya. Bening matanya agak menyipit. Dan tarikan otot otot pipinya mempertegas kecantikannya. Laparku tiba tiba saja terobati dengan pesonanya.
"Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Aku...."
"Ya?"
"Aku...."
Wajah Wati tiba tiba berubah. Ada kegelisahan tergambar dari ucapannya. Apa yang dia pikirkan? Mengapa sampai saat ini dia belum juga bisa menjawab pertanyaanku dengan tegas? Ada apa lagi ini?
Bersambung
Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 3 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H