Desaku terkenal dengan keindahan alamnya. Hamparan sawah menghijau, gunung menjulang, sungai membelah desa, udara sejuk, kicau burung berdendang bahkan panorama fajar dan senjanya sempat membuat seseorang dari kota terpukau menyaksikannya. Karena dari mulut orang inilah, akhirnya desaku dikenal banyak wisatawan domestik mau pun manca negara.
Sekarang desaku sering dikunjungi orang orang kota untuk sekedar membuang penat dan merefresh kembali jiwa raga yang jenuh dengan aktifitas di kota. Tapi ada beberapa anak muda kota sekarang mulai mendapatkan pesona wisata yang lain dari pada biasanya. Secara, Juminten si kembang desa mulai dikenal para pengunjung desa.
Rambutnya yang hitam terurai manja. Bola matanya yang bulat bening pintar menggoda. Bodynya yang semok aduhai buat orang terduduk gemas. Kulitnya yang kuning Langsat bikin silau mata. Senyumnya yang aduhai sungguh memikat rasa. Dan sapaannya yang ramah seperti mengandung pelet alam semesta. Semua orang akan terdiam mematung dan terpesona.
Juminten adalah teman karibku. Setiap kemana mana, kami selalu bersama. Sejak kecil, Juminten memang terlahir sempurna. Sedangkan aku dan kebanyakan remaja desa lainnya hanyalah gadis biasa biasa saja. Muka biasa. Body biasa. bisanya hanyalah masak dan cuci baju di sumur saja. Makanya kecantikan Juminten belum ada tandingannya. Bahkan cermin pun senang melihatnya.
"Ju, kamu mau ke mana?"
"Mau ke sungai. Hayuk ikut aku!" Juminten menarik tanganku sambil tersenyum manja.
"Mau ngapain di sungai? Bukannya sekarang kita tak boleh lagi cuci mandi di sungai. Cukup di sumur saja. Malu sama wisatawan, kata Pak Kades."
"Siapa yang mau mandi, wong aku cuma mau duduk duduk saja."
Akhirnya aku pun ikut dengan Juminten ke sungai itu. Tampaknya sungai sedang ramai pengunjung. Juminten cantik pun langsung menebarkan pesonanya pada siapa saja. Tak terkecuali seorang pemuda tampan di tepi sungai itu. Juminten pun merendam kakinya sambil main air sungai. Sedangkan aku hanya berteduh di bawah pohon Ketapang agar kulitku yang sawo matang nggak tambah matang.
"Hai cewek cantik!" Pemuda tampan menyapa Juminten dengan ramah.
Juminten pun jual mahal. Kepalanya menoleh sedikit ke arah pemuda itu. Sedang tangannya masih sibuk mempermainkan air sungai yang dari tadi sudah jengkel dengan jemari lentik Juminten.
"Kenalkan, namaku Roni." Pemuda itu mengulurkan tangannya.
Takut dibilang tak sopan, Juminten akhirnya berdiri menghadap pemuda itu dan membalas uluran tangan pemuda tadi.
"Namaku Jumy." Juminten menyamarkan namanya supaya kelihatan lebih keren.
"Sendiri?"
"Berdua sama teman." Telunjuk lentik Juminten mengarah padaku. Lalu Juminten eh Jumy memanggilku dari kejauhan.
Aku pun berlari mendekati mereka berdua. Setelah dikenalkan dengan pemuda tampan itu, kami bertiga duduk manis di bawah pohon Ketapang. Kulihat pemuda itu rada rada genit pada Jumy. Dan Jumy senang saja dengan keagresifan pemuda tadi. Secara, wajah macho dan tampannya laku kalau dijual. Sedang aku hanya terdiam merundungi nasib yang kurang beruntung. Aku hanya sesekali mereka lirik. Aku hanyalah obat nyamuk diantara mereka. Pelengkap saja.
Selepas matahari mulai memanggang ubun ubun kepala, Jumy pun beranjak pulang diantar pemuda tadi. Sedangkan aku benar benar tidak beruntung. Disuruh pulang sendirian. Sambil mengumpat kesal dengan kelakuan Juminten, aku pun melangkah pulang. Sesampainya di depan rumah Juminten, sang ibu memanggilku.
"Ra, Juminten mana?" Ibu Juminten bertanya kebingungan. Tak biasa biasanya anak kesayangannya belum pulang sebelum adzan Dzuhur.
"Loh tadi kan sudah pulang duluan."
"Bukannya tadi sama kamu, Ra?"
"Berangkatnya memang iya. Tapi pulangnya sama pemuda tampan naik motor Nmax hitam, Bu." Aku melapor pada Ibunya Juminten.
"Siapa?"
"Orang kota. Baru aja kenal."
"Aduh biyung.... Kok mau maunya Juminten ini. Nanti kalau diculik, gimana?" Ibunya Juminten jadi gelisah sambil jalan sana sini.
Tak lama kemudian Juminten datang. Tapi jalan kaki. Bukan naik motor. Aku dan ibunya pun jadi bingung. Padahal tadi dia naik motor besar. Sekarang kok malah jalan kaki sendirian.
"Ju... kamu dari mana aja, Nak?" Ibunya bertanya dengan gelisah.
"Abis jalan jalan sama Rara tadi." Sambil mengedipkan matanya ke aku.
"Kamu kok bohong toh, Nduk. Rara loh sudah pulang duluan. Kamu kemana?"
Rupanya Juminten berbohong pada ibunya Karena takut dimarahi. Padahal dia habis jalan jalan sama laki laki baru dikenalnya tadi.
"Mampir dulu di rumah Wati, Bu."
Juminten menjawab asal saja.
Lalu dia menarik tanganku dan membawaku masuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Juminten dengan antusias sekali bercerita panjang lebar tentang lelaki yang baru dikenalnya tadi.
"Ra, kata Roni dia senang bisa ketemu aku di sana."
"Kamu percaya?"
"Percayalah. Wong dia ngomong dengan mata berbinar senang. Lalu dia bilang aku cantik, Ra."
"Semua juga bilang begitu kan?"
"Tapi ini beda, Ra. Dia bilang itu sambil cium pipiku."
"Apa!?!?!?" Aku melonjak dari atas kasur karena terkejut sambil memandang jijik pada temanku yang satu itu.
Lalu Juminten menuju ke cermin dan berlenggak lenggok di depan kaca. Tiba tiba cermin itu retak disegala bagiannya. Cermin pun tak Sudi menerima bayangan Juminten yang terkesan murahan melelang harga dirinya terhadap lelaki yang bukan muhrimnya.
Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁🙏
EcyEcy; Benuo Taka, 1 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H