"Kenalkan, namaku Roni." Pemuda itu mengulurkan tangannya.
Takut dibilang tak sopan, Juminten akhirnya berdiri menghadap pemuda itu dan membalas uluran tangan pemuda tadi.
"Namaku Jumy." Juminten menyamarkan namanya supaya kelihatan lebih keren.
"Sendiri?"
"Berdua sama teman." Telunjuk lentik Juminten mengarah padaku. Lalu Juminten eh Jumy memanggilku dari kejauhan.
Aku pun berlari mendekati mereka berdua. Setelah dikenalkan dengan pemuda tampan itu, kami bertiga duduk manis di bawah pohon Ketapang. Kulihat pemuda itu rada rada genit pada Jumy. Dan Jumy senang saja dengan keagresifan pemuda tadi. Secara, wajah macho dan tampannya laku kalau dijual. Sedang aku hanya terdiam merundungi nasib yang kurang beruntung. Aku hanya sesekali mereka lirik. Aku hanyalah obat nyamuk diantara mereka. Pelengkap saja.
Selepas matahari mulai memanggang ubun ubun kepala, Jumy pun beranjak pulang diantar pemuda tadi. Sedangkan aku benar benar tidak beruntung. Disuruh pulang sendirian. Sambil mengumpat kesal dengan kelakuan Juminten, aku pun melangkah pulang. Sesampainya di depan rumah Juminten, sang ibu memanggilku.
"Ra, Juminten mana?" Ibu Juminten bertanya kebingungan. Tak biasa biasanya anak kesayangannya belum pulang sebelum adzan Dzuhur.
"Loh tadi kan sudah pulang duluan."
"Bukannya tadi sama kamu, Ra?"
"Berangkatnya memang iya. Tapi pulangnya sama pemuda tampan naik motor Nmax hitam, Bu." Aku melapor pada Ibunya Juminten.
"Siapa?"