Dengan memahami hal itu, ada kemungkinan artikel yang dikirim ke media tersebut bisa dimuat. Sebaliknya -- jika tak sesuai, bukan mustahil tulisan yang dikirim ditolak redaksi media. Jadi, penulis dari kalangan terdidik ini juga mesti memahami media yang dipilih sehingga gagasan yang ditulis bisa diterima dan sampai ke ruang baca masyarakat.
Ketiga, merdeka pada pilihan jenis tulisan.
Seorang penulis, dapat menulis sesuai dengan bidang yang dipilihnya. Bisa menulis jenis (genre) nonfiksi, bisa pula fiksi. Tulisan nonfiksi ada banyak jenisnya, misalnya, artikel opini, esai, dan feature. Tulisan fiksi juga ada bermacam-macam, antara lain cerita pendek, puisi, novel, dan cerita bersambung (cerbung).
Apapun pilihan para penulis dari kaum intelektual ini, tersila mereka. Pesan atau gagasan bisa disampaikan melalui tulisan fiksi dan nonfiksi. Yang penting pesan dimaksud mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
Tentu saja, gaya penulisan di media massa akan berbeda dengan karya ilmiah murni. Penulis dari kalangan akademisi mesti mengusahakan sedemikian rupa agar tulisannya bergaya populer sehingga enak dibaca dan bermutu.
Untuk itu, para intelektual yang belum terbiasa menulis di media massa, tentu mesti menyesuaikan diri. Tidak bisa mereka bersikukuh dengan tetap menggunakan istilah atau ungkapan yang biasa ditulisnya di dalam karya ilmiah.
Sebaliknya, mereka dituntut untuk membuat gagasannya itu dengan mempopulerkan bahasanya sehingga mudah dimengerti oleh semua kalangan.
Demikianlah, intelektual sejati adalah mereka yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kebermanfaatan ini bisa diwujudkan dengan menulis dan mempublikasikan karya melalui media massa.
Masyarakat pembaca pun akan tercerahkan, terbangkitkan, termotivasi, dan diantarkan pada pemahaman yang lebih baik dan tepat terhadap issue yang tengah berkelindan.Â
Mari tegakkan kemerdekaan menulis demi Indonesia cerdas.
(I Ketut Suweca, 29 Agustus 2024). Â