Mengambil keputusan adalah kegiatan yang kita lakukan sehari-hari, disadari atau tidak. Ketika kita hendak pergi ke kantor, kita memutuskan  baju mana yang akan kita pakai. Ketika hendak berbelanja, kita putuskan produk apa yang akan kita beli. Ketika akan tidur, kita putuskan jam berapa kita akan berangkat tidur.
Ketika kita akan makan, jenis makanan apa saja yang akan kita konsumsi untuk hidup sehat. Ketika hendak menulis, topik apa yang akan kita tulis.
Keputusan-keputusan yang kita ambil pasti akan berdampak, besar atau kecil. Keputusan tersebut boleh jadi tidak hanya berakibat terhadap diri sendiri, bahkan juga terhadap orang lain.
Apalagi sedang dalam posisi sebagai pemimpin atau penguasa. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin tinggi jabatan yang diduduki, kian luas pula pengaruh keputusannya terhadap orang lain.
Seorang kepala rumah tangga yang mengambil keputusan, mungkin hanya akan berdampak pada keluarganya. Seorang pemimpin bisnis startup, keputusannya akan berdampak pada organisasi yang dipimpin dan mungkin juga ke konsumen.
Akan tetapi, keputusan pemimpin pada perusahaan multinasional akan berdampak sangat luas. Keputusan seorang gubernur, menteri, dan presiden misalnya, tentu akan berpengaruh demikian luas.
Oleh karena itu, seorang pebisnis, pejabat atau penguasa, mesti mengambil keputusan dengan penuh perhitungan dan kebijaksanaan mengingat dampaknya.
Lalu, hal-hal apa saja yang seyogianya perlu dihindari dalam mengambil keputusan agar tidak berdampak negatif? Mari kita rinci dan kupas lebih jauh melalui artikel ini.
Pertama, mengambil keputusan tanpa pertimbangan
Keputusan yang baik adalah keputusan yang melalui proses pertimbangan yang baik. Pertimbangan itu bersifat holistik dan komprehensif dan akibat yang ditimbulkannya.
Dalam konteks ini, ada dua cara berpikir yang bisa dilakukan, yakni berpikir analitis dan berpikir kreatif. Berpikir analitis akan membantu pengambil keputusan untuk memastikan masalah yang dihadapi, mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan, dan melihat pola hubungan antara informasi satu dengan yang lain.
Cara berpikir ini juga membantu dalam hal menemukan sejumlah alternatif solusi, menganalisis alternatif-alternatif tersebut, sampai dengan mengambil keputusan. Â
Selanjutnya, berpikir kreatif mengantarkan pengambil keputusan menemukan cara-cara baru atau ide-ide inovatif yang menuntunnya menemukan pemecahan masalah dengan cara yang terbaik.
Berpikir kreatif juga mengantarkan si empunya berani mengambil keputusan yang tidak populer, tidak biasa, tetapi bermanfaat bagi organisasi yang dipimpinnya.
Nah, jika kedua kemampuan berpikir ini dikombinasikan dan diterapkan secara terpadu, niscaya akan menghasilkan keputusan yang terbaik: masalahnya terpecahkan, hal-hal yang baru dan bermanfaat pun diketemukan.
Kedua, mengambil keputusan saat sedang emosi
Hal ini merupakan bagian yang penting agar terhindar dari kesalahan yang fatal. Sangat dianjurkan mengambil keputusan pada saat pikiran dan perasaan tenang.
Betapa pun berat dan sulit masalahnya, pikiran tenang selalu dibutuhkan. Berpikir dengan tetap tenang adalah modal yang sangat berharga agar bisa mengatasi masalah dengan baik.
Sebaliknya, mengambil keputusan pada saat sedang emosional adalah sangat riskan. Misalnya saat kita sedang marah, kecewa, sakit hati, hendaknya jangan dulu mengambil keputusan.
Jika dipaksakan juga, keputusan yang diambil cenderung keliru sehingga berefek negatif dan menyisakan penyesalan setelahnya.
Menjadi tetap tenang dalam situasi mendesak dan tertekan bukanlah hal yang mudah. Tetapi, mengingat dampak negatif yang diakibatkan oleh keputusan yang emosional, maka seyogianya kita memilih dan memastikan diri tenang terlebih dahulu.
Yang Maha Suci Dalai Lama Tenzin Gyatzo dalam The Leader's Way menulis, "Ingatlah, jika saat ini proses pemikiran negatif sedang sangat kuat, jangan membuat keputusan apa pun yang signifikan atau tidak dapat ditarik kembali."
Banyak sekali kejadian destruktif dalam kehidupan masyarakat yang berawal dari pengambilan keputusan secara emosional seperti ketersinggungan dan penderitaan orang lain, pertengkaran, permusuhan, sampai membawa pelakunya ke ranah hukum.
Jadi, sikap tenang sangat diperlukan. Untuk menenangkan diri, banyak pilihan yang bisa dilakukan. Misalnya dengan meneguk air dingin, menghela nafas minimal tiga kali, mengambil waktu jeda beberapa saat, dan memohon petunjuk Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik. Setiap orang memiliki cara dan kebiasaan dalam menenangkan diri.
Ketiga, mengambil keputusan tanpa niat baik
Ya, keputusan yang diambil seyogianya dilandasi dengan niat baik. Â Niat baik ini tidak bisa diabaikan dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, tanpa baik atau dengan niat buruk, maka keputusan yang diambil akan mewujud menjadi hasil yang buruk juga.
Salah satu niat baik dalam mengambil keputuasaan adalah motivasi untuk kebaikan bersama. Niat untuk kebaikan ini mesti juga disampaikan secara jelas kepada mereka yang terkena dampak dari keputusan yang diambil. Para pengikut atau karyawan seyogianya dipastikan sudah memahami maksud dan tujuan dari keputusan tersebut.
Niat baik itu seharusnya dilengkapi pula dengan cara-cara yang baik, cara yang humanis yang memahami psikologi manusia. Dengan begitu niat baik tersebut akan mendapatkan dukungan.
Keempat, mengambil keputusan tanpa data
Keputusan yang baik pada umumnya akan berdasarkan pada data dan informasi. Data dan informasi itu mesti digali, dilihat relevansinya satu sama lain, dipertimbangkan salah satunya untuk dipilih dan diputuskan untuk dilaksanakan.
Sebaik-baiknya suatu keputusan adalah keputusan yang berdasarkan data dan informasi yang lengkap. Keputusan mesti berbasis data. Dengan demikian, keputusan yang diambil menjadi lebih baik.
Namun, pada kenyataannya informasi atau data yang kita butuhkan sering terbatas adanya. Dengan data dan informasi yang terbatas, keputusan tetaplah harus diambil. Apa yang harus dilakukan?
Dapatkan tuntunan yang keluar dari hati sanubari yang terdalam. Dalam hubungan ini, kita tak bisa lagi hanya menggunakan akal dan data, bahkan juga intuisi. Banyak pemimpin yang berpengalaman menggunakan kombinasi keduanya dan terbukti hasilnya baik.
Kelima, mengambil keputusan untuk kepentingan diri sendiri
Kendati memiliki kesempatan untuk mementingkan diri sendiri, namun hal ini mesti dihindari oleh para pemimpin dalam mengambil keputusan.
Kalau landasannya adalah sikap egois dan ketamakan, keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang tepat. Keputusan yang diambil bisa sangat merugikan karyawan, pemasok, konsumen, bahkan masyarakat pada umumnya.
Harus diingat, mereka yang terdampak oleh keputusan akan mencium bau amis keputusan tersebut. Terhadap hal ini, mungkin sebagian dari mereka memilih diam. Ada juga yang memilih angkat bicara, bahkan berani melawan secara frontal.
Apa pun bentuk perlawanan yang dilakukan para pihak yang merasa dirugikan, keputusan yang dilandasi ketamakan seharusnya pantang diambil oleh para pemimpin yang bijaksana.
Keenam, mengambil keputusan tanpa mengeksekusinya
Keputusan yang baik adalah keputusan yang dilaksanakan, bukan? Keputusan yang tidak dilaksanakan sama saja dengan ketiadaan keputusan.
Terkadang orang mahir mengambil keputusan, hanya membuat keputusan. Tetapi, keputusan itu tidak berlanjut pada tingkat pelaksanaan.
Tanpa pelaksanaan,  sebuah keputusan tidak berarti apa-apa. Bukti efektif tidaknya atau  berhasil tidaknya sebuah keputusan ada pada pelaksanaannya.
Itulah 6 hal utama yang seyogianya dihindari oleh siapa pun dalam mengambil keputusan, terlebih-lebih bagi seorang pemimpin. "Seorang pemimpin adalah orang yang mengetahui jalannya, menjalankan jalannya, dan menunjukkan jalannya," tulis John C. Maxwell.
(I Ketut Suweca, 16 Maret 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H