Bagi kebanyakan orang, public speaking atau berbicara di depan umum bukanlah pekerjaan mudah. Orang lebih memilih pekerjaan lain daripada harus berdiri dan berbicara di hadapan banyak orang.
Mengapa demikian? Karena, bagi sebagian besar orang, public speaking merupakan pekerjaan yang sulit, perlu proses, dan jam terbang yang cukup untuk bisa percaya diri berbicara di depan umum.
Masih banyak orang yang sedang belajar dan mulai mempraktikkan public speaking melakukan sejumlah kekeliruan, disadari atau tidak, diketahui atau tidak. Mereka melakukan hal-hal yang seyogianya dihindari.
Tujuh Kesalahan
Apa sajakah kesalahan-kesalahan dimaksud? Untuk tujuan mencegah kesalahan itu terjadi lagi, ada baiknya penulis kemukakan hal-hal yang sering terjadi.
Kesalahan itu terjadi pada tahap persiapan dan pada saat berbicara di depan umum itu sedang berlangsung. Â Mari kita kupas satu per satu agar menjadi jelas.
Pertama, tidak mempersiapkan materi dengan baik. Jika seorang pembicara tidak mempersiapkan diri dengan baik sebelum berbicara, maka akan berakibat fatal. Boleh jadi ia akan mengalami kesulitan dan keadaan yang menyedihkan saat di atas panggung.
Ada ungkapan yang menyatakan, "siapa yang naik panggung tanpa persiapan, maka ia akan turun panggung tanpa kehormatan." Pembaca masih ingat dengan ungkapan klasik ini, bukan?
Ungkapan ini -- kendati sudah lawas, masih tetap aktual hingga saat ini, bahkan sampai kapan pun. Ungkapan ini mengingatkan kita untuk melakukan persiapan yang baik sebelum naik ke panggung dan berbicara.
Persiapan dalam konteks ini dimaksudkan terutama pada  persiapan materi yang akan dibawakan.
Mungkin kesalahan itu ada pada ketiadaan persiapan sama sekali. Mungkin juga persiapan hanya sekadarnya saja. Ini boleh jadi dilatarbelakangi oleh sikap menggampangkan persoalan.
Akibatnya, yang bersangkutan turun panggung tanpa kehormatan! Artinya, di samping tidak mampu menyampaikan gagasan-gagasan dengan baik, juga merasa malu yang sangat di hadapan audiens akibat ketidaksiapannya itu.
Kedua, tidak mengetahui profile audiens. Mengetahui audiens adalah hal yang sangat penting. Antara lain, berapa usia mereka, tingkat pendidikan mereka, dan apa saja profesi audiens.
Dengan mengetahui sebagian dari latar belakang mereka, maka strategi pendekatan yang dilakukan akan lebih dapat dipersiapkan atau disesuaikan dengan profil audiens.
Misalnya yang berkaitan dengan usia. Kalau usia mereka rata-rata sudah sepuh, tentu akan menentukan bagaimana cara kita berbicara. Kalau mereka rata-rata berpendidikan tinggi, tentu menentukan level bahasa mana yang akan kita pakai ketika berbicara.
Ketika profesi mereka kebanyakan guru, pola komunikasi seperti apa yang akan digunakan untuk menyentuh hati para pendidik itu.
Jadi, dengan memahami audiens dengan baik, kita bisa menyusun strategi yang berkesesuaian. Setiap kelompok audiens memerlukan strategi pendekatan yang berbeda pula.
Ketiga, tidak mengetahui lokasi dan peralatan yang digunakan. Hal ini tampaknya sepele, tapi memegang peranan penting. Mengapa?
Ketika kita tidak mengetahui secara pasti lokasi yang akan dituju, maka kita sulit membayangkan lokasi (alamat dan tempat) yang digunakan.
Oleh karena itu, adalah sangat perlu bagi pembicara untuk mengenal lokasi tempat dia akan berbicara nantinya. Jika tak mungkin menjajagi lebih awal, minimal Anda mendapatkan gambaran lokasi dari panitia atau orang yang mengetahuinya.
Selain itu, pembicara perlu juga mengetahui peralatan yang akan digunakan. Hal ini berhubungan dengan persiapan yang diperlukan yang dikaitkan dengan sarana atau peralatan yang tersedia di lokasi.
Misalnya, di lokasi sudah disiapkan LCD projector dan layar (screen), tentu pembicara seyogianya menyiapkan power point (ppt) misalnya.Â
Jika di lokasi tidak disiapkan pengeras suara sedangkan ruangannya cukup luas, tentu kita perlu bersiap-siap bersuara yang lebih keras atau sedikit mendekatkan tempat duduk dengan audiens. Atau, melangkah mendekati audiens seraya berbicara.
Keempat, tidak melihat audiens. Nah, ini adalah tipe kesalahan yang acapkali terjadi: tidak (berani) menatap mata audiens.
Idealnya, seorang pembicara harus menatap tepat ke mata audiens. Dengan menatap mereka, audiens akan merasa dirinya dilibatkan dalam pembicaraan. Mereka akan lebih antusias mendengar apa yang dikatakan pembicara.
Menatap mata dalam konteks ini, tentu saja tidak fokus melihat satu atau dua orang audiens saja, melainkan merata, secara keseluruhan.
Lemparkanlah pandangan ke beberapa audiens dan kemudian sapukan pandangan ke semua audiens. Dengan demikian, mereka semua merasa sedang dilibatkan dalam pembicaraan.
Kelima, tidak bersemangat. Terkadang ada pembicara yang tidak bersemangat dalam menyampaikan pesan-pesannya. Mereka hanya sekadar menyampaikan, hampir tidak ada energi dari dalam dirinya, tidak ada power yang bisa ditularkan kepada audiens.
Pembicara yang tidak bersemangat akan berdampak terhadap antusiasme audiens. Pendengar pun ikut-ikutan tidak bersemangat dalam mendengarkan ucapan pembicara.
Bahkan, mereka menjadi malas dan bosan mendengarkan pidato. Lalu, ada yang mengantuk, mungkin ada juga yang sampai tertidur.
Mengatasi hal ini, maka pembicara yang baik akan pertama-tama menyemangati dirinya sendiri sebelum dan pada saat berbicara. Semangatnya merasuki kata-katanya, ucapannya. Dan, semangat ini menggairahkan  audiens untuk mendengarkan dengan antusias.
Ingatlah bahwa semangat itu menular! Jika pembicara bersemangat, maka audiens kemungkinan besar akan ikut bersemangat. Sebaliknya, apabila seorang public speaker berbicara tanpa tenaga, tanpa power, tanpa gairah, maka audiens akan segera merasa bosan dan meninggalkannya!
Keenam, tidak melibatkan pendengar. Melibatkan pendengar bisa dilakukan dengan pandangan mata sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Selain itu, ada juga cara lain agar para pendengar merasa dilibatkan.
Setiap pembicara memiliki kebiasaan-kebiasaan atau cara tertentu untuk melibatkan pendengar. Mungkin mereka akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan untuk dijawab audiens. Barangkali mereka mengajak audiens melakukan ice breaking bersama-sama atau cara lainnya.
Melibatkan pendengar merupakan salah satu cara untuk menyemangati mereka. Ini juga menjadi cara untuk menghargai keberadaan dan kehadiran mereka.
Dan dengan melibatkan pendengar, maka interaksi terjadi. Komunikasi yang baik pun bisa dibangun dengan cara jitu ini. Jadi, upayakan melibatkan audiens pada saat berbicara.
Ketujuh, malas meningkatkan pengetahuan. Pernahkah pembaca menyaksikan pembicara yang isi pembicaraannya itu ke itu saja? Tak pernah berubah dari tahun ke tahun?
Audiens yang pernah mendengarkan sebelumnya, sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan dan bagaimana dia mengatakannya.
Jika demikian halnya, maka 'rentang hidup' sebagai public speaker bagi orang seperti ini tidak akan panjang. Ia akan kehilangan audiens. Tidak ada lagi orang berminat terhadap materi yang dibicarakannya karena selalu monoton, itu itu saja.
Untuk menghindari hal tersebut, seorang pembicara harus belajar dan belajar secara berkesinambungan. Ia mesti senantiasa meng-update pengetahuan dan keterampilannya.
Dengan belajar berkelanjutan, maka dia akan selalu bisa mengikuti trend. Topik pembicaraannya pun akan sesuai dengan kebutuhan masa kini, menginspirasi, dan menarik untuk disimak.
Menjadi pembicara publik adalah pekerjaan yang menantang sekaligus mengharuskan orang untuk terus belajar: memperkaya pengetahuan dan wawasan. Ini penting.  Tanpa itu, ia  akan ditinggalkan pendengarnya.
(I Ketut Suweca, 30 Mei 2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H