Keenam, tidak melibatkan pendengar. Melibatkan pendengar bisa dilakukan dengan pandangan mata sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Selain itu, ada juga cara lain agar para pendengar merasa dilibatkan.
Setiap pembicara memiliki kebiasaan-kebiasaan atau cara tertentu untuk melibatkan pendengar. Mungkin mereka akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan untuk dijawab audiens. Barangkali mereka mengajak audiens melakukan ice breaking bersama-sama atau cara lainnya.
Melibatkan pendengar merupakan salah satu cara untuk menyemangati mereka. Ini juga menjadi cara untuk menghargai keberadaan dan kehadiran mereka.
Dan dengan melibatkan pendengar, maka interaksi terjadi. Komunikasi yang baik pun bisa dibangun dengan cara jitu ini. Jadi, upayakan melibatkan audiens pada saat berbicara.
Ketujuh, malas meningkatkan pengetahuan. Pernahkah pembaca menyaksikan pembicara yang isi pembicaraannya itu ke itu saja? Tak pernah berubah dari tahun ke tahun?
Audiens yang pernah mendengarkan sebelumnya, sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan dan bagaimana dia mengatakannya.
Jika demikian halnya, maka 'rentang hidup' sebagai public speaker bagi orang seperti ini tidak akan panjang. Ia akan kehilangan audiens. Tidak ada lagi orang berminat terhadap materi yang dibicarakannya karena selalu monoton, itu itu saja.
Untuk menghindari hal tersebut, seorang pembicara harus belajar dan belajar secara berkesinambungan. Ia mesti senantiasa meng-update pengetahuan dan keterampilannya.
Dengan belajar berkelanjutan, maka dia akan selalu bisa mengikuti trend. Topik pembicaraannya pun akan sesuai dengan kebutuhan masa kini, menginspirasi, dan menarik untuk disimak.
Menjadi pembicara publik adalah pekerjaan yang menantang sekaligus mengharuskan orang untuk terus belajar: memperkaya pengetahuan dan wawasan. Ini penting.  Tanpa itu, ia  akan ditinggalkan pendengarnya.
(I Ketut Suweca, 30 Mei 2023).