Mengapa mabuk? Karena hampir setiap hari saya berusaha menyisihkan waktu untuk membuat artikel. Istilah yang lebih soft mungkin: jatuh cinta pada dunia tulis-menulis.
Dengan mesin ketik bermerek Brother, saya mengisi waktu luang di luar kerja dan kuliah dengan menulis dan menulis.
Biasanya saya akan buat draft-nya dulu di atas kertas. Setelah merasa cocok, baru kemudian saya ketik di mesin ketik itu.
Terasa asyik, seraya mengetik, saya dapatkan hiburan. Hiburan apa? Ya, hiburan dari suara yang nyaris berirama, tak tik tak tik tak tik...
Dari perjalanan di dunia penulisan itu, saya berpikir ternyata saya bisa mendapatkan uang yang lumayan dari menulis kendatipun belum bisa diandalkan sepenuhnya untuk menopang hidup.
Paling tidak untuk menggenapi kekurangan pada saat menjelang tutup bulan. Dari honor menulis saya bisa membeli buku kuliah, buku tulis, membeli jam weker, membeli sandal, sepatu, dan sebagainya.
Menyenangkan? Ya, menyenangkan. Saya hobi membaca, lanjut hobi juga menulis. Bahkan, boleh dibilang bukan sekadar hobi, bahkan sudah jadi passion. Betapa nikmatnya hidup apabila kita berkarya selaras dengan hobi dan passion, bukan? Dan, saat itu saya sudah merasa menjadi penulis freelance.
Dengan membaca tulisan dari koran dan media lainnya, saya jadi tahu bahwa banyak mahasiswa yang melakukan hal yang sama.
Mereka juga menjadi penulis freelance atau penulis lepas. Tidak terikat pada sebuah media. Seperti halnya saya, mereka tidak hanya menulis di suatu media tertentu, melainkan juga di media yang lain yang bersedia memuat karya-karya mereka.
Menjadi Penulis Freelance
Yang dilakukan para penulis freelance adalah menulis dan menulis. Lalu, mengirim karyanya ke media yang berkesuaian dengan materi tulisannya.