Pertanyaan yang diajukannya berangkat dari persepsi, cara pandang, atau opini yang bersangkutan. Misalnya, menurut dia, menikah adalah sebuah keharusan. Menikah sudah seharusnya dilaksanakan kalau sudah cukup umur. Mengingatkan, agar jangan sampai baru ingat menikah setelah usia jauh bertambah.
Bisa juga dilatarbelakangi oleh pemikiran jika menikah dalam usia yang cukup, akan ada waktu yang cukup juga untuk merawat dan membesarkan anak-anak.
"Kalau menikah terlalu tua, nanti saat sudah pensiun, anak masih bersekolah sehingga sedang memerlukan biaya besar," begitu antara lain ucapan yang disampaikan.
Mengontrol Respons Sendiri
Dalam konteks ini, kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain. Jadi, bersabarlah. Yang bisa kita kontrol adalah respons kita terhadap ucapan atau pendapat orang lain.
Maka, yang perlu dilakukan hanyalah memberi respons yang sewajarnya saja, tanpa harus melukai perasaan si penanya yang bisa merusak hubungan baik.
Kembali kepada diri sendiri, apakah pertanyaan itu dirasakan menyakiti dan menyinggung perasaan atau tidak. Kita bisa menetapkan pilihan dalam hal ini.
Jika pertanyaan itu membuat kita kesal, berarti kita telah membiarkannya menembus pikiran dan perasaan kita.
Sebaliknya, jika kita tidak memedulikan pertanyaan itu dan menganggapnya sekadar cara untuk ber-say hello atau ada motivasi positif di baliknya, maka kita tidak akan merasa tersinggung atau tersakiti. Akhirnya, terserah kepada pilihan kita dalam meresponsnya.
(I Ketut Suweca, 7 Mei 2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H