Kalau sifat ini diberikan kesempatan untuk naik ke permukaan, bukan tidak mungkin ia bisa mengambil berbagai bentuk, salah satunya adalah tindakan korupsi.
Ketamakan tidak memandang orang kaya atau miskin. Orang kaya bisa tamak, orang miskin pun bisa. Jadi, orang serakah itu tidak tergantung pada kondisi ekonomi. Bisa dimiliki dan dilakukan oleh siapa saja yang membiarkan sifat serakahnya meraja di dalam benaknya.
Kedua, adanya kesempatan.
Kesempatan yang terbuka bisa juga menimbulkan niat buruk untuk memperkaya diri dan kelompok. Orang yang tadinya tidak berpikir untuk melakukannya, tiba-tiba bisa berniat korupsi karena kesempatan untuk itu terbuka lebar.
Kembali kepada pribadi masing-masing, apakah akan memanfaatkan kesempatan tersebut atau tidak. Bagai sopir kendaraan, ia mau menginjak pedal gas atau rem.
Kalau ia memutuskan menginjak gas niat buruk dengan memanfaatkan kesempatan, maka terjadilah korupsi. Sebaliknya, apabila yang bersangkutan menginjak pedal rem, maka tidak akan ada tindakan korupsi kendatipun terbuka kesempatan untuk itu.
Ketiga, adanya kekuasaan.
Kekuasaan dapat menumbuhkan niat korupsi. Ya, dengan kekuasaan yang dimiliki, penguasa di berbagai level bisa saja memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Kekuasaan itu bisa membutakan mata hati!
Benarlah apa yang ditulis oleh Lord Acton yang kita pelajari dalam ilmu politik. Ia menyatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Dan, kekuasaan yang tidak terkontrol pasti korup. Dengan bahasa aslinya, ia menulis, "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely."
Kelima, tergantung keteladanan.
Tindakan korupsi dalam batas-batas tertentu juga faktor dipengaruhi oleh faktor keteladanan. Kalau dalam suatu institusi pimpinannya berperilaku koruptif, maka bukan tidak mungkin bawahan juga akan melakukan tindakan yang sama.Â