Kita tentu merasa sangat berduka betapa banyak saudara-saudara kita terenggut nyawanya karena Covid-19. Kita semua merasa sangat sedih. Satu demi satu sahabat-sahabat yang kita kenal dan orang-orang yang kita tidak kenal dipanggil Tuhan setelah terpapar virus ini.
Pandemi Menjadi Guru
Suasana setiap hari nyaris mencekam. Masyarakat banyak dilanda kekhawatiran. Mereka takut kalau tidak lama lagi dia atau keluarganya direnggut nyawanya lantaran penyakit yang menular ini.
Kendati banyak yang mengingatkan agar jangan terlalu khawatir lantaran kekhawatiran itu bisa menurunkan imunitas tubuh, ternyata pikiran sulit dikendalikan. Begitulah keadaannya.
Lalu, selama lebih dari 1,5 tahun pandemi melanda, apa yang bisa kita pelajari? Tak hanya meninggalkan duka-lara, pandemi juga memberikan pelajaran kepada kita. Ia bertindak bagai seorang guru. Jangan pernah lupa, tanpa izin Tuhan, pandemi tidak akan pernah ada.
Apa saja yang diajarkan "sang guru" Covid-19 kepada kita. Apa saja pelajaran yang mesti kita ketahui dan serap sebagai muridnya? Mari kita runut satu per satu.
Pertama, hidup ini hanyalah sementara.
Benar. Hidup ini sementara sifatnya. Kata orang, hidup itu bagaikan kilat. Hadir lalu lenyap. Nyawa kita adalah pinjaman yang sewaktu-waktu bisa dicabut.
Tidak pasti pula siapa yang meninggal duluan. Belum tentu yang tua, yang muda pun bisa. Seumpama buah kelapa, jangan pikir hanya kelapa tua yang bisa jatuh dari pohonnya. Yang berupa buah kelapa kecil yang disebut bungsil pun bisa jatuh duluan.
Tidak hanya orang yang sakit yang bisa meninggal. Yang sehat sekali pun bisa tiba-tiba dipanggil Tuhan. Hidup ini tetap misterius, terutama yang menyangkut kapan masing-masing dari kita akan pulang kembali kepadaNya.
Karena hidup ini sementara dan suatu waktu kita akan meninggal, maka kita akan berpikir, apa yang bisa kita lakukan semasih diberikan kesempatan untuk hidup.
Apakah kita egois, selalu mementingkan diri sendiri tanpa peduli pada orang lain? Apakah kita sering menyakiti orang lain? Adakah kebajikan yang sudah kita lakukan selama ini? Adakah kita pernah bahkan sering membantu orang lain? Adakah kita berbuat kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita? Ada banyak pertanyaan yang tertuju pada diri sendiri.Â
Kedua, dipaksa belajar menggunakan teknologi.
Pandemi ini memaksa kita memanfaatkan kemajuan teknologi. Mereka yang mungkin saja kurang peduli dengan penggunaan teknologi sebelum Covid-19, tiba-tiba harus menggunakannya dengan sedikit gelagapan.
Lambat-laun kita menjadi terbiasa dengan teknologi dan mulai merasa nyaman saat memanfaatkannya dalam berbagai kegaiatan.
Kita rapat menggunakan zoom meeting, melakukan proses transfer pengetahuan melalui webinar. Kita melakukan kelas pembelajaran juga dengan memanfaatkan kemajuan teknologi jaringan internet, dan seterusnya.
Dalam berbisnis pun kita memanfaatkan teknologi. Lalu, saat berbelanja kita mulai banyak memanfaatkan aplikasi belanja online untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Akhirnya kita menjadi familiar dengan penggunaan teknologi tersebut dan menjadikannya bagian dari kehidupan dan mendukung kegiatan harian kita.
Ketiga, hubungan keluarga yang kian erat.
Dulu, ketika pandemi belum melanda, kita bebas ke luar rumah. Entah mau bekerja atau sekadar memenuhi keinginan untuk melancong ke suatu tempat.
Setelah pandemi menyusup ke tengah-tengah kehidupan, kita menjadi sangat berhati-hati. Mengurangi ke luar rumah dan memilih berdiam di rumah.
Kita melakukan banyak aktivitas di rumah. Para guru melakukan proses mengajar secara daring dari rumah. Siswa dan mahasiswa belajar dari rumah. Para pegawai bekerja dari rumah dengan konsep work from home (WFH).
Mereka yang suka berbisnis pun tidak harus membuka toko secara fisik, tetapi cukup dengan membuka toko secara online. Melayani konsumen secara online dengan pilihan sistem yang terkenal, antara lain pola reseller dan dropshipper.
Karena pekerjaan banyak dilakukan di rumah, maka intensitas komunikasi antarkeluarga menjadi lebih baik.
Dulu, untuk bertemu keluarga mungkin terbilang sulit. Pergi ke kantor pagi-pagi, tiba di rumah pada malam hari. Ini terjadi terutama di kota-kota besar yang penuh kemacetan lalu-lintas.
Karena kini lebih banyak WFH, maka hubungan antaranggota keluarga lebih leluasa, lebih intensif, dan lebih erat. Sambil bekerja di rumah, komunikasi dalam keluarga juga bisa dilakukan secara langsung.
Keempat, berpola hidup bersih dan sehat.
Pernahkah terpikir pada saat sebelum pandemi bahwa belakangan kita harus mengenakan masker dengan demikian disiplinnya. Pernahkah terpikir kita akan mencuci tangan dengan rajin, menggunakan handsanitizer, dan selalu menjaga pola hidup bersih sehari-hari?
Mungkin saja tidak. Atau, atensi kita hanya kecil saja terhadap hal-hal di atas. Namun, pandemi sudah mengajarkan kita untuk berpola hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari bahkan secara ketat.
Kelima, penguatan hidup saling menolong.
Hidup tolong-menolong telah menjadi dasar dari kehidupan kemasyarakatan kita. Akan tetapi, mungkin sering kita lupakan dalam penerapannya. Kita, barangkali, terlalu suntuk mengais rejeki untuk menambah pundi-pundi tabungan. Kita mungkin sempat lupa bahwa ada orang lain di sekitar yang membutuhkan pertolongan.
Masa pandemi ini rupanya mengingatkan kita untuk kian bersungguh-sungguh dalam menerapkan pola hidup tolong-menolong. Mengapa?
Saat pandemi, kian banyak yang mengalami hidup terpuruk, terutama dari sisi ekonomi. Pendapatan keluarga menjadi sangat drop lantaran sumber-sumber penghasilan sudah tidak ada atau hilang.
Karyawan hotel dan restoran yang sebelumnya mendapatkan gaji setiap bulannya, tiba-tiba harus mengalami kenyataan yang mengejutkan. Mereka terpaksa dirumahkan karena hotelnya sepi pengunjung dan tutup secara penuh. Para pekerja informal yang dulunya dapat mengais rejeki setiap hari, mengalami kesulitan untuk menghidupi keluarganya.
Nah, dalam keadaan seperti inilah, sebagai manusia yang memiliki kepedulian, kita tergerak untuk membantu. Mereka yang masih punya rezeki membantu saudara-saudaranya yang dalam kesulitan memperoleh sesuap nasi.
Ada yang terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat membagikan sumbangan berupa beras, sembako, makanan, dan lainnya. Ini adalah wujud real dari ajaran humanisme sejati. Tanpa perlu banyak publikasi, mereka berjuang untuk membantu orang-orang yang kesusahan.
Demikianlah, ada lima pelajaran yang diajarkan "guru" pandemi. Kita diingatkan bahwa kita bisa mati kapan pun dan di manapun. Kita diingatkan untuk memanfaatkan teknologi seraya mengintensifkan komunikasi dan hubungan antaranggota keluarga.
Kita juga diajarkan untuk saling peduli dengan menolong sesama, juga diajarkan betapa pentingnya pola hidup bersih dan sehat.
Semoga pelajaran yang positif ini terus terbawa sampai nanti.
( I Ketut Suweca, 29 Agustus 2021).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI