Anda pernah mengalami keraguan dalam proses penyuntingan artikel? Anda merasa kasihan men-delete kata atau kalimat. Anda merasa sudah repot-repot membuatnya, mengapa mesti dipotong?
Anda mungkin juga berpikir, daripada menghapus yang sudah ada, mendingan diunggah saja. Toh tidak ada yang sempurna di dunia ini, tak terkecuali artikel ini.
Itulah sebagian contoh permasalahan yang dihadapi para penulis ketika harus membabat  sejumlah kata atau kalimat yang tidak sudah ditulisnya dengan susah payah.
Mari kita bahas problema penyuntingan ini lebih jauh. Kita akan menyoroti mengapa penulis enggan menyunting tulisannya: apa alasan dan bagaimana mengatasinya.
Pertama, malas mengedit.
Kemalasan sebenarnya hal yang mesti tidak diikuti dalam membuat karya tulis. Tetapi, pada kenyataannya, ada penulis yang sudah merasa payah berpikir untuk menuntaskan draft pertama tulisannya.
Begitu selesai membuat draft artikel, lalu apa lagi? Tugasnya belum selesai. Masih ada tugas penyuntingan yang, mau tak mau, harus dilakukannya. Dalam hati sang penulis mungkin berpikir, sudah capek-capek menulis, sekarang mengedit lagi!
Akan tetapi, menyunting menjadi pekerjaan wajib. Artinya, mesti dikerjakan agar artikel atau naskah yang dibuat bisa selesai secara tuntas alias tidak tanggung.
Kalau sudah lelah dan muncul rasa malas, mau apalagi? Dipaksa untuk menyunting juga nggak bakal bagus hasilnya.
Lalu, bagaimana? Solusinya adalah, lupakan sejenak draft naskah yang sudah Anda susun itu. Biarkan saja dulu. Silakan istirahat atau refreshing. Beri kesempatan pikiran Anda untuk rileks, lepas dari tulisan tersebut.
Selang beberapa jam kemudian Anda sudah bisa kembali melanjutkannya. Kalau Anda merasa perlu memerlukan waktu lebih lama dari itu, sehari misalnya, ya, silakan.
Setelah sempat rileks, biasanya kita akan bisa mengedit dengan pemikiran segar, bahkan dengan kemampuan melihat dengan cara yang berbeda.
Berbeda? Ya, benar, hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, menjadi terpikirkan. Hal-hal yang tadinya dirasa cukup bagus, ternyata bisa dibuat lebih bagus lagi. Dengan begitu, hasil editing Anda pun akan baik.
Kedua, kasihan diedit.
Anda tidak sampai hati memotong beberapa kata atau kalimat yang sudah And lahirkan! Begitulah mungkin perasaan Anda ketika berhadapan dengan upaya membuat artikel Anda menjadi lebih baik.
Benar sekali. Terkadang kita merasakan seperti itu. Saya pun sesekali tidak sampai hati mengamputasi beberapa bagian dari kalimat yang sudah saya susun. Tetapi, mau apalagi, kalau harus diedit untuk hasil yang lebih bagus.
Terpaksa Anda harus menyiapkan pisau pengeditan, lalu mengiris bagian-bagian yang tidak perlu, dan membuangnya dengan ikhlas. Sementara untuk bagian yang sudah sesuai, dimantapkan keberadaannya.Â
Jadi, jangan terbawa rasa kasihan kalau kita ingin menyempurnakan hasil kerja kita. Ya, kita mesti tega dan berani memperbaikinya bahkan mungkin merombak beberapa bagiannya.
Ketiga, tidak tahu apa yang diedit.
Adakah orang yang seperti ini? Tentunya ada pada kenyataannya. Ia tidak tahu mana yang perlu disunting.
Ketidaktahuan ini berasal dari keterbatasan pengetahuan mengenai tata bahasa. Misalnya, dalam penulisan di sebagai awalan dan di sebagai kata depan. Masih bingung, mana yang benar cara penulisannya, disamping atau di samping, misalnya. Atau, mana yang benar, di jual atau dijual. Ini hanya contoh. Banyak hal yang memang harus dicermati dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Saya pun terus belajar tentang hal ini. Masih banyak hal yang belum saya pahami. Terkadang saya merasa kata-kata yang saya tulis itu sudah benar, ternyata masih salah kalau dilihat dari sisi bahasa baku.
Oleh karena itu, para penulis dituntut terus-menerus belajar. Apalagi mengingat bahasa Indonesia selalu berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Jumlah kosakata dari bahasa asing terus saja bertambah. Semua itu menuntut kita belajar dan belajar.
Buku pedoman bahasa Indonesia dan kamus bahasa Indonesia sangat penting dijadikan rujukan. Dengan merujuk pada hal itu, maka kemungkinan membuat kekeliruan semakin kecil kendatipun sulit mencapai hasil yang benar-benar sempurna.
Wawasan Kebahasaan
Demikianlah problematika penyuntingan yang sering dialami para penulis, terlebih-lebih mereka yang baru belajar menulis.
Malas menyunting, tidak tega memotong kata atau kalimat, dan tidak tahu bagian mana yang diedit. Itulah persoalan yang kerapkali terjadi.
Jurus ampuh mengatasinya tiada lain adalah dengan menghapus rasa malas untuk mengedit untuk kualitas tulisan yang lebih baik, di samping mesti ikhlas mengamputasi bagian yang salah dan tidak berguna.Â
Dan, terakhir, kesediaan untuk terus-menerus belajar untuk menambah wawasan tentang kebahasaan.
(Â I Ketut Suweca, 3 Agustus 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H