Namun, kalau kita mengajukan pertanyaan lagi terhadap tentang hal-hal yang sudah dijelaskan dengan sangat gamblang, ini artinya tadi kita sedang tidak mendengarkannya dengan baik.
Ketiga, kebisingan dalam pikiran
Saat perbincangan berlangsung, apakah kita sudah benar-benar mendengarkan? Tidakkah kita sedang memikirkan hal lain ketika kita sedang "mendengar"?
Kebisingan pikiran tiada lain adalah banyaknya hal yang kita pikirkan. Sekilas memikirkan hal yang di rumah, kemudian memikirkan liburan akhir pekan, lalu memikirakan menu makan siang, kemudian mengingat kekasih pujaan, dan seterusnya.
Kalau otak dipenuhi oleh banyak lintasan-lintasan pikiran yang tiada habisnya, maka kita tidak akan mampu menyerap apa yang mesti didengar saat perbincangan atau pertemuan berlangsung.
Percuma saja ikut dalam pembicaraan, sementara pikiran kita tidak ada di sana. Dalam kaitan ini, mengusahakan fokus pada pembicaraan menjadi keharusan. Janganlah hanya hadir secara fisik, tetapi pikiran dan hati melayang jauh.
Keempat, sering menginterupsi
Interupsi adalah hal yang tidak dilarang. Interupsi bukan tidak boleh dilakukan. Hanya saja, jangan seringkali melakukannya.Â
Terkesan kita tidak memiliki etika dalam berkomunikasi. Menyela pembicaraan orang ketika ia berbicara sebiasanya tidak dilakukan.
Ingatlah, pembicara itu -- seperti juga kita, adalah manusia biasa. Manusia yang memiliki perasaan. Ingatlah, perasaan manusia lebih dominan dibanding logikanya. Oleh karena itu, kita harus menjaga perasaan si pembicara seperti juga kita ingin dihargai.
Alih-alih menginterupsi, seyogianya kita bersedia mendengar perkataan lawan bicara sampai selesai. Setelah itu, baru kita sampaikan pendapat atau pertanyaan.
Kelima, tidak menunjukkan respons
Respons adalah salah satu wujud nyata dari ekspresi seorang pendengar yang baik. Misalnya menganggukkan kepala tanda setuju atau mengerti, memandang pembicara dengan tatapan bersahabat dan hangat, mengatakan, "Ya", "Saya mengerti."