Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Silakan Cek, Apakah Anda Seorang Pendengar yang Efektif?

11 Mei 2021   19:46 Diperbarui: 14 Mei 2021   14:17 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjadi pendengar yang baik itu perlu (Sumber gambar: freepik.com)

Pada acara televisi kita bisa menyaksikan orang berebutan berbicara. Belum selesai yang satu berbicara, sudah ditimpali oleh lawan bicaranya. Begitu seterusnya sehingga pemirsa kecewa dibuatnya.

Tidak hanya di televisi. Di rekaman beberapa video yang bisa diakses di YouTube pun kita bisa melihat orang-orang yang suka berebut berbicara. Ya, berebut berbicara!

Mereka seakan-akan hendak memperlihatkan kehebatan dalam berbicara dan menunjukkan kecerdasan dengan berbicara. Mereka pun hanya mau berbicara terus tanpa kesediaan mendengar.

Yang penting baginya adalah mendapat kesempatan berbicara. Jika tidak berbicara, mungkin mereka takut nanti bisa dianggap bodoh oleh pendengar atau pemirsa. Begitulah yang banyak terjadi.

Pendengar yang Efektif

Kepiawaian berkomunikasi bukan melulu diukur dari kemampuan berbicara.Yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan menjadi pendengar yang efektif.

Kemampuan yang penulis sebut terakhir ini sering tidak mendapat perhatian. Jarang ada materi kuliah tentang bagaimana menjadi pendengar yang efektif. Yang ada adalah bagaimana menjadi public speaker yang hebat.

Menjadi pendengar yang efektif adalah kebutuhan dasar dalam berkomunikasi. Tujuannya, agar komunikasi berjalan baik dan lancar. Di dalamnya terkandung sentuhan manusiawi, ada empati, dan ada pemahaman akan perasaan lawan bicara.

Dengan menjadi pendengar yang baik, kita akan mendapatkan pengetahuan tentang topik yang dibicarakan sekaligus mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai lawan bicara.

Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi seorang pendengar yang efektif? Lalu, bagaimana mengukurnya? Mari kita periksa melalui 6 pointer plus penjelasan berikut ini.

Pertama, asyik bermain handphone
Banyak terjadi belakangan ini -- terutama di ruang-ruang rapat, orang suka sekali memainkan hanphone-nya tatkala ada pembicara yang seharusnya didengarkan. Hal seperti ini terjadi juga di ruang-ruang kuliah.

Ilustras bermain handphone (Sumber gambar: gettyimages.com) 
Ilustras bermain handphone (Sumber gambar: gettyimages.com) 

Orang yang bermain handphone mungkin tidak menyadari betapa ia sebenarnya mengecewakan sang pembicara. Ini kalau si pembicara mengetahuinya.

Pembicara yang sabar pada umumnya akan membiarkan hal itu terjadi. Tetapi, bagi yang lain, boleh jadi langsung menegur. 

Kalau hal ini terjadi di kampus, bukan tidak mungkin sang dosen akan memperingatkan si mahasiswa.

Saya juga pernah menghadapi hal seperti ini. Ketika sedang menjelaskan sebuah materi kuliah, ada seorang mahasiwa yang jarang fokus ke materi kuliah, melainkan ke handphone.

Satu dua kali saya biarkan, namun pada akhirnya saya tegur dengan bertanya apa pendapatnya tentang materi yang sedang dibahas. Ia pun akhirnya gelagapan. Dan, sejak saat itu saya minta ia menyimpan HP-nya dulu selama pelajaran berlangsung.

Kedua, tidak mengajukan pertanyaan
Pertanyaan yang kita ajukan menunjukkan salah satu ciri bahwa kita seorang pendengar yang baik. Artinya, kita sudah memberikan perhatian terhadap materi yang dibicarakan.

Pertanyaan itu disampaikan mungkin dimaksudkan untuk mendapat jawaban yang lebih detail. Atau, ingin mendapatkan kepastian atau penegasan tentang hal tertentu dari topik perbincangan.

Akan tetapi, mungkin saja hal-hal yang disampaikan pemateri sudah jelas dan lengkap, maka pendengar memandang tidak perlu lagi bertanya. 

Alhasil, ketika ditanyakan, "Adakah yang perlu ditanyakan lagi?" Dengan serempak dijawab, "Pass!!". 

Namun, kalau kita mengajukan pertanyaan lagi terhadap tentang hal-hal yang sudah dijelaskan dengan sangat gamblang, ini artinya tadi kita sedang tidak mendengarkannya dengan baik.

Ketiga, kebisingan dalam pikiran
Saat perbincangan berlangsung, apakah kita sudah benar-benar mendengarkan? Tidakkah kita sedang memikirkan hal lain ketika kita sedang "mendengar"?

Kebisingan pikiran tiada lain adalah banyaknya hal yang kita pikirkan. Sekilas memikirkan hal yang di rumah, kemudian memikirkan liburan akhir pekan, lalu memikirakan menu makan siang, kemudian mengingat kekasih pujaan, dan seterusnya.

Kalau otak dipenuhi oleh banyak lintasan-lintasan pikiran yang tiada habisnya, maka kita tidak akan mampu menyerap apa yang mesti didengar saat perbincangan atau pertemuan berlangsung.

Ilustrasi banyak hal yang dipikirkan (Sumber gambar:coachem magarcia.es)
Ilustrasi banyak hal yang dipikirkan (Sumber gambar:coachem magarcia.es)

Percuma saja ikut dalam pembicaraan, sementara pikiran kita tidak ada di sana. Dalam kaitan ini, mengusahakan fokus pada pembicaraan menjadi keharusan. Janganlah hanya hadir secara fisik, tetapi pikiran dan hati melayang jauh.

Keempat, sering menginterupsi
Interupsi adalah hal yang tidak dilarang. Interupsi bukan tidak boleh dilakukan. Hanya saja, jangan seringkali melakukannya. 

Terkesan kita tidak memiliki etika dalam berkomunikasi. Menyela pembicaraan orang ketika ia berbicara sebiasanya tidak dilakukan.

Ingatlah, pembicara itu -- seperti juga kita, adalah manusia biasa. Manusia yang memiliki perasaan. Ingatlah, perasaan manusia lebih dominan dibanding logikanya. Oleh karena itu, kita harus menjaga perasaan si pembicara seperti juga kita ingin dihargai.

Alih-alih menginterupsi, seyogianya kita bersedia mendengar perkataan lawan bicara sampai selesai. Setelah itu, baru kita sampaikan pendapat atau pertanyaan.

Kelima, tidak menunjukkan respons
Respons adalah salah satu wujud nyata dari ekspresi seorang pendengar yang baik. Misalnya menganggukkan kepala tanda setuju atau mengerti, memandang pembicara dengan tatapan bersahabat dan hangat, mengatakan, "Ya", "Saya mengerti."

Ini merupakan contoh ekspresi dan gesture pendengar yang baik. Tentu saja respons yang disampaikan tidak boleh mengada-ada atau berlebihan. Respons yang tampak dibuat-buat. Sebaliknya, berikan respons alamiah yang menampakkan kejujuran dan keluar dari hati yang tulus.

Ketiadaan respons menunjukkan hal yang sebaliknya. Menunjukkan bahwa kita tidak mendengar dengan sungguh-sungguh.

Keenam, hanya memikirkan tanggapan
Banyak pendengar yang -- sembari "mendengar", berkutat memikirkan jawaban atau tanggapan yang akan diberikan. Di dalam pikirannya, ia sedang menyusun argumen atau tanggapan atas apa yang disampaikan pembicara.

Alhasil, ia tidak bisa fokus mendengarkan materi yang sedang disampaikan, melainkan sibuk memikirkan tanggapan sebagai balasan. 

Kalau sudah seperti ini, tentu tidak banyak hal yang bisa diserap dari pembicaraan karena pikiran yang tidak fokus. Akhirnya, materi yang dibicarakan berlalu begitu saja.

Itulah enam ciri pendengar yang payah. Coba periksa, apakah kita memiliki salah satu atau lebih ciri di atas.

Semakin lengkap ciri-ciri di atas yang berhasil kita penuhi, maka semakin meyakinkan bahwa kita sesungguhnya bukanlah pendengar yang efektif! 

( I Ketut Suweca, 11 Mei 2021).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun