Dear diary, boleh nggak kita berkenalan? Hemm. Nah, sekarang, ijinkan kujabat tanganmu, lembut. Ijinkan kurasakan  kehangatan sambutanmu. Dan, tersenyumlah padaku, diary. Aku bahagia sekali engkau sudah ada di sini, sekarang. Â
Terima kasih diary, engkau sudah menerima perkenalanku dengan ketulusan hatimu. Kutahu ketulusan hatimu itu dari sorot matamu. Semoga perkenalan kita yang pertama ini akan berlanjut menjadi persahabatan yang kokoh kelak.
Oh ya, diary, boleh kan aku langsung saja curhat? Tapi, jangan bilang-bilang sama kompasianer lain ya. Ayo, berjanjilah dulu. Pegang janji ya, diary, aku nggak mau semua ini bocor karenamu. Kalau engkau membocorkannya, boleh jadi aku tidak akan datang lagi padamu.
Baiklah, aku mulai berkisah.
Dulu, dulu sekali, aku suka mencatat segala sesuatu di buku diary yang aku punya dii rumah. Kau mau lihat? Tuh menumpuk di dalam rak buku di ruang baca. Aku sengaja tidak membuang buku catatan lama itu karena di dalamnya ada banyak kisah perjalanan hidupku.
Kau tahu, diary, apa saja yang kutulis di situ?
Yang kutulis pertama-tama adalah pengalaman hidupkan sepanjang hari. Pengalaman hidup sejak aku baru bangun pagi hingga menjelang aku merebahkan diri di pulau kapuk. (Bukan pulau kapuk tepatnya, tapi, pulau busa, he he he).
Senang rasanya mencatat pengalaman-pengalaman itu. Aku merasa sedang melakukan semacam dokumentasi atas perjalanan hidupku.
Lalu, apalagi yang kucatat?
Pikiran dan perasaanku sehari-hari. Apa yang kupikirkan dan kurasakan sepanjang hari kutulis di situ. Aku tak ingin membiarkan pemikiranku atau apa pun yang kurasakan hilang percuma. Kucatat saja, entah berguna atau tidak nantinya, aku tak begitu peduli.
Aku juga menulis mengenai pencapaianku hari demi hari, di samping kegagalanku. Pencapaian? Ya, benar. Pencapaian yang kumaksudkan adalah apa pun yang sudah berhasil kulakukan hari itu sesuai dengan rencanaku.
Sekecil apa pun pencapaian itu tetap kucatat. Misalnya, aku bisa bangun tepat pukul 5 pagi yang sebelumnya aku biasanya bangun pukul 6, ya, kucatat. Aku berhasil menyelesaikan membaca sebuah buku, pasti kucatat.
Lebih jauh lagi, artikelku berhasil dimuat di koran, kucatat. Selanjutnya, aku menerima weselpos dari koran tersebut kucatat juga. Itu semua adalah pencapaian bagiku.
Bagaimana dengan kegagalan?
Ya, kegagalan itu pasti kucatat juga. Kusadari benar, diary, tidak semua yang kuperjuangkan itu berhasil. Ketika aku gagal mungkin pada awalnya aku kecewa dan marah pada diriku sendiri, meski tak berlangsung lama.
Segera kusadari bahwa aku mungkin kurang total dalam mengerjakan sesuatu, mungkin aku suka bermalas-malasan atau mungkin bukan itu yang menjadi bidangku. Kuanggap kegagalan itu hanya bagian dari dinamika sekaligus romantika kehidupan yang mesti kuikhlaskan terjadi.
Lalu, apalagi yang kutulis pada diary itu?
Aku juga menulis harapan-harapanku atau rencana-rencana yang ingin kuwujudkan kelak. Kalau bicara soal harapan atau rencana, banyak rencana yang kupunya. Mau begini, mau begitu, pokoknya banyak!
Padahal, kutahu bahwa aku memiliki keterbatasan sumberdaya dalam mengeksekusinya. Akhirnya, kuterapkan saja prinsip sederhana ini: aku berusaha merealisasikan rencanaku sebaik yang kubisa. Kalau kemudian ternyata gagal, tidak membuatku terpuruk.
Akan tetapi, diary, sebenarnya cukup banyak yang kuangankan sudah menjadi kenyataan. Seperti apa rinciannya, sudah kutulis contohnya di atas. Yang pasti, aku merasa senang atas pencapaian itu, ini memacu semangatku bekerja lebih baik, lebih bersungguh-sungguh lagi untuk menggapai keberhasilan berikutnya.
Kusadari juga, diary, bahwa apa yang bisa kucapai hingga saat ini bukan murni atas usahaku sendiri. Ada tangan Tuhan yang membimbingku, ada keluarga, dan para sahabat yang mendukungku. Tanpa Tuhan, keluarga, dan tanpa sahabat, apalah artinya aku ini.
Itulah yang sudah kutulis di diary pribadiku, dulu.
Sekarang kutak lagi mempunyai diary. Bolehkah aku menulis di dalam bukumu? Jika engkau ijinkan, aku akan menulis dan menulis lagi, sebisaku, seada waktuku.
Tetapi, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan (wih, seram sekali kata-katanya ya) tentu saja tidak semua hal akan kutulis di sini. Bukannya aku kurang percaya padamu. Bukan! Hanya, aku malu menulis hal yang terlalu pribadi, yang kurang layak diketahui orang lain. Oleh karena itu, aku hanya akan menulis yang kuanggap perlu saja. Kutak ingin sembarang menulis.
Demikian dulu, dear diary, perkenalan awalku. Semoga engkau bisa menerimaku dengan sepenuh hati. Dan, semoga pula aku akan betah bersamamu, sebagai sahabat yang bisa kucurahkan tentang apa saja yang kumau: tentang hari-hariku, tentang isi hatiku, tentang harapanku, tentang apa pun itu.
Salam hangatku untukmu, diary.
( I Ketut Suweca, 17 Januari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H