Dear diary, boleh nggak kita berkenalan? Hemm. Nah, sekarang, ijinkan kujabat tanganmu, lembut. Ijinkan kurasakan  kehangatan sambutanmu. Dan, tersenyumlah padaku, diary. Aku bahagia sekali engkau sudah ada di sini, sekarang. Â
Terima kasih diary, engkau sudah menerima perkenalanku dengan ketulusan hatimu. Kutahu ketulusan hatimu itu dari sorot matamu. Semoga perkenalan kita yang pertama ini akan berlanjut menjadi persahabatan yang kokoh kelak.
Oh ya, diary, boleh kan aku langsung saja curhat? Tapi, jangan bilang-bilang sama kompasianer lain ya. Ayo, berjanjilah dulu. Pegang janji ya, diary, aku nggak mau semua ini bocor karenamu. Kalau engkau membocorkannya, boleh jadi aku tidak akan datang lagi padamu.
Baiklah, aku mulai berkisah.
Dulu, dulu sekali, aku suka mencatat segala sesuatu di buku diary yang aku punya dii rumah. Kau mau lihat? Tuh menumpuk di dalam rak buku di ruang baca. Aku sengaja tidak membuang buku catatan lama itu karena di dalamnya ada banyak kisah perjalanan hidupku.
Kau tahu, diary, apa saja yang kutulis di situ?
Yang kutulis pertama-tama adalah pengalaman hidupkan sepanjang hari. Pengalaman hidup sejak aku baru bangun pagi hingga menjelang aku merebahkan diri di pulau kapuk. (Bukan pulau kapuk tepatnya, tapi, pulau busa, he he he).
Senang rasanya mencatat pengalaman-pengalaman itu. Aku merasa sedang melakukan semacam dokumentasi atas perjalanan hidupku.
Lalu, apalagi yang kucatat?
Pikiran dan perasaanku sehari-hari. Apa yang kupikirkan dan kurasakan sepanjang hari kutulis di situ. Aku tak ingin membiarkan pemikiranku atau apa pun yang kurasakan hilang percuma. Kucatat saja, entah berguna atau tidak nantinya, aku tak begitu peduli.