Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kado" Terindah untuk Almarhum Ibu dan Ayah

25 Desember 2020   15:51 Diperbarui: 26 Desember 2020   15:36 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bersepeda (i.pinimg.com)

Ayah dan Ibu tercinta.

Sebenarnya aku hendak menulis "kado" ini ke dalam bentuk puisi. Menulis dengan puisi yang indah, bahkan terindah. Sayang aku tak terlatih membuat puisi yang baik sebagaimana kawan-kawanku di sini.

Tapi, niatku untuk mengirimkan "kado" untukmu tak pernah berhenti. Biarlah kutulis dengan caraku seperti ini, sebisaku.

Bukan kado berupa barang, tentu, melainkan berupa pesan dari suara hati terdalam anakmu ini. Kalau berupa barang, kupastikan tak akan sampai ke alamatmu.

Tetapi, kalau berupa pesan, kuyakin, akan sampai di tempatmu berada, di surga atau di mana saja, aku tak tahu.

Entahlah, apakah sinar matahari yang akan membantuku membawa pesan ini kepadamu, apakah angin, apakah hujan, atau apa saja.

Yang penting aku sudah menuliskannya di sini dan meniatkan mengirimkannya kepadamu. Dengan menumpang "kendaraan" apa pun  yang penting pesan ini sampai di tempatmu.

Ada dua pesan yang kutulis di sini. Satu untuk ibu dan satu untuk ayah. Mohon dibuka dan bacalah pelan-pelan. Kendati engkau tak pernah belajar membaca, tapi kuyakin pesan anakmu ini akan tetap berlabuh di hatimu yang damai.

Pesan untuk Ibu.

Ibu, aku teringat ketika tengah malam aku meraung-raung karena tak tahan oleh derita sakit gigi. Kepalaku berdenyut-denyut seakan hendak pecah.

Engkau pun bingung mencarikanku obat pengurang rasa sakit, tapi tak ada. Engkau menghiburku. Sampai kemudian aku kelelahan menangis dan tertidur pulas.

Aku juga ingat betapa kerasnya engkau bekerja, siang dan malam, demi menghidupi kami semua, anak-anakmu.

Pukul empat pagi engkau sudah bangun, menyiapkan segala sesuatunya. Pergi ke pasar membeli segala bahan dan kebutuhan warung nasi yang sudah lama engkau buka.

Aku ingat ketika tangan kananku masih belum sampai menyentuh telinga kiriku, ibu mengajakku ke pasar. Ibu berkeliling berbelanja, sedangkan aku engkau minta menunggu di dekat keranjang belanjaan sampai ibu kembali.

Karena lama tak kunjung kembali, aku menangis tersedu-sedu sampai akhirnya engkau datang. Engkau tahu, ibu, saat itu  aku takut jika tidak bersamamu, takut kalau engkau tak menjemputku lagi, dan aku takut tersesat.

Aku masih ingat tatkala ibu sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama. Engkau tak sadarkan diri, koma. Aku dan adik selalu menungguimu, setiap malam, usai sekolah dan mengerjakan banyak pekerjaan rumah dan peer sekolah.

Aku dan adik menungguimu dengan duduk di lantai beralaskan tikar. Tak ada satu pun di antara kami yang tertidur saat itu.

Lalu, aku bersama adik memutuskan sembahyang tengah malam, di tempat aku menungguimu. Menghidupkan dupa dan mulai menyebut nama Tuhan. Memohon kepada Hyang Widhi agar memberikan jalan terbaik untukmu.

Kalau akan sembuh, sembuhkanlah ibuku. Sebaliknya, jika Tuhan berkehendak memanggil Ibu, panggilah, begitu aku berdoa. Aku ikhlas atas apa pun keputusan Tuhan yang akan diturunkan kepada ibu.

Satu jam kemudian, kulihat nafasmu tersengal. Engkau kesulitan bernafas. Aku berlari cepat memanggil dokter tengah malam itu.

Dokter jaga mengecek keadaanmu, lalu menatap kami berdua. "Dik, ibumu sudah tiada." Aku terkesiap dan tak mampu menahan tangis. Begitu pula dengan adikku.

Pesan untuk Ayah.

Ayah, banyak sekali pelajaran yang kudapat darimu. Engkaulah guru pertama dan terbaik bagiku untuk belajar tentang kerja keras dan kedisiplinan.

Engkau mengajariku bagaimana mengisi waktu dengan kegiatan yang berguna. Engkau mengajariku membajak di sawah, menanam benih, menyiangi tanaman padi, mengairi sawah sampai mengikat belahan bambu pada pagar tanaman agar menjadi rapat. Terkadang engkau memperlakukanku dengan disiplin keras.

Ayah, engkau memberiku petuah untuk selalu rajin belajar. Katamu, kendati engkau tidak pernah menikmati bangku sekolah, anak-anakmulah yang harus menikmatinya. Engkau tidak ingin anak-anakmu ini terjerat kebodohan. Engkau ingin aku, kakak, dan adikku bersekolah, bersekolah setinggi-tingginya.

Pesanmu itu aku ingat selalu. Kuyakin ayah tidak kecewa dengan anak-anakmu ini kalau soal bersekolah. Kendati mesti berjuang keras mengatasi banyak kesulitan dan tanpa kenal lelah, akhirnya kami bisa memenuhi harapanmu untuk mencapai pendidikan yang baik.

Aku berterima kasih atas semua motivasi dan dukungan totalmu ayah sehingga aku sampai di titik ini, sekarang.

Lihatlah cucu-cucumu kini sudah besar, sudah bersekolah, dan kini mulai belajar mencari uang untuk menghidupi diri  sendiri.

Mereka pun mulai ringan tangan membantu orang yang kesusahan dengan niatnya yang tulus. Tersenyumlah melihat mereka, ayah.

Ayah, aku mohon maaf kalau aku tidak bisa selalu menemanimu di masa tua, juga saat engkau sakit, karena aku jauh di rantau mencari penghidupan. Engkau selalu merindukan anakmu ini, aku tahu itu.

Seperti katamu, saat engkau sebut-sebut namaku, terkadang tiba-tiba aku muncul di hadapanmu. Seperti ada magnet yang selalu mendekatkanku padamu.

Aku ingat sepeda gayung yang engkau belikan untukku. Dengan sepeda itu aku bisa bepergian ke mana-mana. Pergi ke toko buku, pergi ke perpustakaan, pergi ke sekolah, bahkan pergi untuk belajar mencari pacar ketika beranjak remaja.

Dengan sepeda gayung itu pula aku membawa dua ikat padi ke penyosohan beras, menggandeng rumput yang baru saja kusabit, dan berangkat berlatih silat dengan penuh semangat.

Terima kasih Ibu, terima kasih ayah, sudah membekaliku pedoman hidup yang berguna sehingga aku mampu tetap melangkah dengan berani.

Biarlah aku melangkah  dalam kasihmu dan dalam restumu dari tempatmu kini berada.

( I Ketut Suweca, 25 Desember 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun