Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menimbang Manfaat Membaca Buku Sastra bagi Penulis Nonfiksi

24 Desember 2020   08:46 Diperbarui: 24 Desember 2020   18:23 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasianer, Bapak Y. Edward Horas S., menulis tentang kesukaan beliau menikmati buku kumpulan cerpen pilihan terbitan Kompas.

Berkat tulisan Pak Edward itulah, saya menjadi tertarik membaca buku-buku kumpulan cerpen pilihan Kompas tersebut.

Pesan Dua Buku Fiksi
Lalu, saya memesan buku tersebut secara online. Tidak menunggu lama, buku itu pun tiba di rumah. Harapan saya untuk menikmati kumpulan cerpen pilihan Kompas tersebut, terbuka sudah.

Ya, ada dua buku yang saya beli. Pertama merupakan kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2018,  dengan judul yang tertera di cover depan Doa yang Terapung.

Judul buku terbitan Kompas ini rupanya tidak diambil dari salah satu judul cerpen di dalamnya, melainkan dikombinasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih merangkul beberapa tema yang ada di dalam buku.

Yang kedua adalah buku berjenis sama, kumpulan cerpen pilihan juga, tapi ber-angka tahun 2019. Judulnya, Mereka Mengeja Larangan Mengemis. Judul buku ini dipetik dari salah satu judul cerpen karya Ahmad Tohari yang ada di dalam buku.

Nah, setiap buku berisi belasan cerpen. Membaca Kata Pengantar pada buku terbitan tahun 2018 saja secara sekilas, saya sudah sangat senang. Lalu, saya teruskan membaca isinya.

Baru Baca 9 Judul
Baru 9 cerpen dari banyak cerpen dalam buku Doa yang Terapung itu yang saya baca. Sisanya masih banyak. Belum lagi buku kedua. Masih jadi peer saya untuk membacanya secara bertahap di hari-hari selanjutnya.

Baru membaca sebagian saja dari buku itu saya sudah tertarik, bahkan merasa terpukau membacanya. Benarkah?

Dari 9 judul cerpen yang saya baca, saya melihat kemampuan sang pengarang. Mereka sangat piawai merangkai kata.

Dari sisi isi, mungkin terbilang tak terlalu istimewa. Akan tetapi, bagaimana dengan daya ungkapnya yang digenapi dengan kemampuan imajinasi yang tinggi? Nah, di sinilah letak keistimewaannya.

Baiklah, saya petikkan untuk kita di sini, salah satu cerpen yang menarik, yaitu cerpen karya Djenar Mahesa Ayu yang berjudul Saat Ayah Meninggal Dunia.

Pesona dalam Kalimat

Begini kalimat alinea pertamanya. 

"Saya bertemu dengannya beberapa saat setelah ayah meninggal dunia. Saat pagi hari lebih menyerupai malam hari. Saat gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Saat kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka. Saat rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan."

"Kehidupan mendadak lebih menyerupai kematian. Seperti ada yang merenggut paksa lalu menghempaskan saya ke lubang yang lebih kelam daripada kelir malam. Dan induk dari segala sunyi, menyambangi."

Saya menyukai rangkaian kata-kata indah itu. Tentu untuk menyusunnya diperlukan daya cipta dan imajinasi yang tinggi, di samping penguasaan kosakata (diksi) yang luas.

Belum puas? Berikut saya petikkan lagi sebuah kalimat singkat yang nyelekit dari Rizki Turama dalam cerpen yang bertajuk Durian Ayah.

Berangkat dai keyakinan masyarakat lokal, Turama menulis, "... ayah kulihat sedang menyayat-nyayat batang pohon durian itu."

"Ada yang mengajariku, pohon buah harus sedikit disakiti agar dia merasa terancam dan kemudian berbuah,' jelas ayah tanpa kuminta."

Yang berikut ini beda lagi, masih dari penulis yang sama di dalam cerpen yang sama. 

Tulis Turama, "Tapi, kadang nasib tak ubahnya hati perawan yang sedang gundah, mudah berbalik arah."

Bagian terakhir ini membuat saya tersenyum sendiri. Penulis mengandaikan semangat yang timbul-tenggelam tak bedanya dengan kegundahan hati seorang perawan.

Ah, saya masih harus melanjutkan membaca cerpen-cerpen berikutnya di dalam buku itu.

Kendati tidak begitu banyak membaca buku sastra atau fiksi, tetapi saya sejak lama menyukai bacaan bergenre ini. Beberapa buku novel yang saya beli sejak dulu saya nikmati di kala waktu senggang. 

Kombinasi bacaan dari buku nonfiksi (ilmu pengetahuan) dan fiksi, memperkaya batin pembacanya. Saya yakin itu.

Dua Genre Utama
Genre tulisan dibagi menjadi dua bidang utama, yaitu fiksi dan nonfiksi. Fiksi adalah jenis tulisan yang mengedepankan data, fakta, opini, informasi lainnya.

Sedangkan, tulisan fiksi menekankan pada imajinasi, daya khayal, dan kemampuan mengolah diksi dalam sastra.

Nah, kedua genre itu sudah jelas berbeda. Pertanyaannya, perlukan seorang penulis di kelompok nonfiksi dengan segala jenisnya itu membaca buku atau tulisan fiksi seperti novel, puisi, cerpen, dan lainnya?

Tidakkah ia akan bingung dengan genre yang diikutinya, menulis fiksi bisa bergaya nonfiksi. Menulis nonfikasi bergaya fiksi? Tetapi, layakkah hal ini dikhawatirkan?

Pertanyaan itu mungkin akan muncul dan menguat apabila ada penulis atau pengarang yang menggalinya lebih dalam.

Saya berpendapat, saling mengunjungi antartulisan genre yang berbeda tidaklah masalah. Bahkan, itu bisa memperkaya wawasan sang penulis. Mengapa?

Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019 (dok.pribadi)
Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019 (dok.pribadi)
Melihat Manfaat
Kalau penulis nonfiksi rajin membaca buku-buku fiksi, maka ia akan mendapatkan beberapa manfaat.

Pertama, ia bisa mengikuti jalan cerita tulisan fiksi itu, baik cerpen, novel, dan sebagainya. Dari sisi kandungan cerita, si pembaca akan mendapatkan wawasan.

Kedua, ia akan mendapatkan kosakata ala sastrawan. Kosakata yang relatif berbeda dengan perbendaharaan kata yang biasanya dia pilih dan pakai dalam penulisan. Nah, kosakata ini menjadikannya lebih lebih kaya dalam bahasa tulis.

Ketiga, dia akan mendapatkan gaya bahasa atau gaya pengungkapan yang beragam. Misalnya, bagaimana penulis fiksi membuat analogi, personifikasi, dan lainnya. Ini sungguh memperkaya khasanah daya ungkap si pembaca yang penulis nonfiksi.

Kalau demikian halnya, apakah penulis nonfiksi, seperti penulis opini, perlu membaca buku-buku fiksi? Jawabannya, jelas, sangat perlu.

Dengan membaca buku-buku sastra, maka ia  memperluas kemampuan berbahasanya. Dari situ ia bisa menuliskan gagasannya dengan lebih baik. Tidak hanya lebih baik, juga lebih legit dibaca.

(I Ketut Suweca, 24 Desember 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun