Namanya saja artikel opini. Tentu yang lebih ditonjolkan adalah aspek opini-nya. Pendapat atau pandangan penulislah yang diutamakan, sama sekali bukan apa kata orang lain.
Memahami Artikel Opini
Secara konseptual, artikel opini berbeda dengan berita. Kalau berita pasti akan mengangkat data atau fakta dan pendapat narasumber yang diwawancarai, artikel opini justru lebih fokus pada pendapat penulisnya sendiri.
Di dalam sebuah tulisan berbentuk berita, tak boleh ada pendapat si wartawan masuk. Sebaliknya, dalam artikel opini, justru pendapat penulisnyalah yang diutamakan.
Lalu, seperti apa sesungguhnya artikel opini itu? Menurut saya, artikel opini adalah artikel yang berisikan pendapat atau pandangan penulis terhadap suatu permasalahan yang bersifat aktual disertai dengan data pendukung seperlunya.
Artikel opini menunjukkan pandangan penulis terhadap suatu persoalan atau permasalahan dan bagaimana penulis memosisikan diri dalam melihat persoalan dimaksud.
Berkaitan dengan penulisan artikel opini, melalui tulisan ini saya kemukakan 4 hal utama yang mesti mendapatkan perhatian. Keempat hal itu menjadi faktor penentu kualitas tulisan opini.
Mengutamakan Opini Penulisnya
Pertama, menonjolkan opini. Seperti saya kemukakan di atas, semua artikel opini fokus pada pendapat atau pandangan penulis artikel terhadap permasalahan yang dibahas. Yang ditonjolkan semata-mata pendapat si penulis, bukan pendapat orang lain atau hal lainnya.Â
Misalkan, penulis melihat persoalan banjir yang terus-menerus melanda sebuah kota. Setiap kali musim hujan selalu saja muncul wilayah-wilayah yang terendam banjir. Si penulis tidak hanya akan mengutuki masalah itu, bahkan ia juga memberikan pandangan atau pendapat sebagai jalan keluar mengatasi persoalan tersebut.
Ia melihat banjir sebagai masalah dan mengajukan solusi yang memungkinkan masyarakat keluar dari persoalan tersebut. Untuk itu, pertama-tama ia mendeskripsikan masalah pada awal tulisannya, lalu mendeskripsikan juga keadaan yang diinginkan sekaligus sebagai pemecahan masalah. Dengan kata lain, ada masalah, ada harapan, dan ada solusi yang ditawarkan.
Di antara masalah dengan harapan, terdapat kesenjangan (gab). Kesenjangan inilah yang diisi oleh penulis dalam bentuk opini untuk menjawab permasalahan yang dijelaskan di awal tulisan.
Data, Seberapa Perlukah?
Kedua, penggunaan data. Data seringkali diperlukan untuk menunjukkan kepada pembaca keadaan senyatanya.
Tidak hanya paparan kualitatif, penulis acapkali merasa perlu menyuguhkan data angka yang, misalnya, menunjukkan kecenderungan suatu masalah sehingga membutuhkan solusi atau penanganan.
Data itu dihadirkan hanyalah sebagai pendukung. Bukan hal yang utama dalam artikel opini. Dengan data pendukung yang ditampilkan, diharapkan pembaca meyakini bahwa suatu permasalahan sudah sedemikian keadaannya sehingga membutuhkan penanganan. Berkaitan dengan masalah banjir, misalnya, data kerugian yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun mungkin dipandang perlu disajikan.
Dengan data, penulis akan mampu melihat kecenderungan sebuah persoalan sehingga dari situ ia bisa melihat kemungkinan yang akan terjadi di masa datang. Prediksi berbasis data menjadi bagian dari proses penentuan alternatif solusi yang diusulkan.
Akan tetapi, ada satu hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan data. Data harus dipakai secukupnya atau seperlunya saja. Lihatlah terutama dari sisi kebutuhan dan kontekstualitas langsungnya. Jangan sampai lantaran data yang seabreg dalam artikel, pembaca jadi malas membacanya karena tidak menarik dan membebani.
Pembaca tidak mau dibombardir dengan data yang belum tentu mereka butuhkan. Keindahan sebuah tulisan bisa terganggu oleh data yang berlebihan. Ingatlah selalu bahwa artikel opini bukan laporan statistik.
Teori, Perlukah?
Ketiga, kajian teori. Sebaiknya artikel opini juga menyertakan kajian konsep atau teori yang bisa memperkuat analisis. Pendapat yang dikemukakan ada dasar teorinya yang berkesesuaian. Ini sebisanya, apalagi artikel yang bersifat ilmiah populer.
Akan tetapi, dalam tulisan opini di media seperti ini, teori yang dikemukakan oleh para ahli, tidak harus ada. Sekali lagi, tidak harus ada. Tidak mesti setiap artikel opini mengandung teori tertentu sebagai dasar pendekatannya, kendati boleh-boleh saja dilakukan. Tanpa landasan teori pun artikel tersebut tetap berharga sebagai sebuah opini dari penulisnya.
Ingatlah, pembaca ingin lebih santai. Di kampus, di kantor, atau di tempat kerja lainnya, mereka sudah diguyur dengan teori atau peraturan ini-itu. Nah, saat istirahat sambil membaca di rumah, mereka butuh kesantaian. Oleh karena itu, jangan lagi menulis artikel dengan menguraikan teori-teori para ahli.
Cukup disimpan sendiri saja teori itu. Tulis saja pandangan kita terhadap suatu permasalahan. Apa yang kita tulis sudah merupakan refleksi dari seperangkat teori yang pernah kita baca dari berbagai buku referensi.
Unsur Kebaruan
Keempat, unsur kebaruan. Pendapat yang dituliskan pun tak sekadar pendapat, karena semua orang yang waras bisa berpendapat. Pendapat mesti tetap rasional dan sebisanya mengandung unsur kebaruan.
Unsur kebaruan? Ya, benar. Unsur inilah yang sejatinya memberi nilai pada sebuah artikel opini. Tanpa sesuatu yang mengandung hal baru atau orisinal maka sebuah artikel menjadi kurang berharga.
Sampai di sini, saya teringat dengan apa yang ditulis Pak Felix Tani dalam sebuah artikel beliau. Ia memetik perbincangannya dengan Pak Arief Budiman mengenai bagaimana menilai mutu sebuah artikel opini.
Ketika Pak Felix bertanya bagaimana menilai mutu sebuah artikel, Pak Arief Budiman pun menjawab bahwa artikel yang bermutu itu adalah hasil "produksi", sedangkan artikel yang tak memiliki kualitas adalah hasil "reproduksi."
Beda kedua jenis artikel ini ada pada unsur kebaruannya. Artikel hasil produksi mengandung kebaruan (novelty), sedangkan artikel reproduksi, tidak.
Menemukan unsur kebaruan dalam sebuah artikel memang sesuatu yang sulit. Untuk menghasilkan artikel seperti ini, diperlukan ketajaman berpikir dan kreativitas.
Penulis mesti mampu menganalisis sebuah permasalahan secara relatif mendalam dan secara kreatif bisa menemukan ide atau gagasan orisinal yang menjadi solusi. Ia mesti bisa melihat dari sisi tertentu yang orang lain belum melihatnya.
Memang tidak mesti keseluruhan isi artikel mengandung kebaruan. Sedikit saja hal baru disampaikan sudah cukup, mengingat menemukan novelty itu benar-benar tidak mudah.
Dibutuhkan kemauan keras dan kemampuan berpikir kritis untuk menghasilkan artikel hasil "produksi" sendiri, bukan artikel hasil "reproduksi."
Tantangan menjadi penulis artikel opini yang baik memang besar. Saya pun masih harus terus belajar.
( I Ketut Suweca, 4 Oktober 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H