Ingatlah, pembaca ingin lebih santai. Di kampus, di kantor, atau di tempat kerja lainnya, mereka sudah diguyur dengan teori atau peraturan ini-itu. Nah, saat istirahat sambil membaca di rumah, mereka butuh kesantaian. Oleh karena itu, jangan lagi menulis artikel dengan menguraikan teori-teori para ahli.
Cukup disimpan sendiri saja teori itu. Tulis saja pandangan kita terhadap suatu permasalahan. Apa yang kita tulis sudah merupakan refleksi dari seperangkat teori yang pernah kita baca dari berbagai buku referensi.
Unsur Kebaruan
Keempat, unsur kebaruan. Pendapat yang dituliskan pun tak sekadar pendapat, karena semua orang yang waras bisa berpendapat. Pendapat mesti tetap rasional dan sebisanya mengandung unsur kebaruan.
Unsur kebaruan? Ya, benar. Unsur inilah yang sejatinya memberi nilai pada sebuah artikel opini. Tanpa sesuatu yang mengandung hal baru atau orisinal maka sebuah artikel menjadi kurang berharga.
Sampai di sini, saya teringat dengan apa yang ditulis Pak Felix Tani dalam sebuah artikel beliau. Ia memetik perbincangannya dengan Pak Arief Budiman mengenai bagaimana menilai mutu sebuah artikel opini.
Ketika Pak Felix bertanya bagaimana menilai mutu sebuah artikel, Pak Arief Budiman pun menjawab bahwa artikel yang bermutu itu adalah hasil "produksi", sedangkan artikel yang tak memiliki kualitas adalah hasil "reproduksi."
Beda kedua jenis artikel ini ada pada unsur kebaruannya. Artikel hasil produksi mengandung kebaruan (novelty), sedangkan artikel reproduksi, tidak.
Menemukan unsur kebaruan dalam sebuah artikel memang sesuatu yang sulit. Untuk menghasilkan artikel seperti ini, diperlukan ketajaman berpikir dan kreativitas.
Penulis mesti mampu menganalisis sebuah permasalahan secara relatif mendalam dan secara kreatif bisa menemukan ide atau gagasan orisinal yang menjadi solusi. Ia mesti bisa melihat dari sisi tertentu yang orang lain belum melihatnya.