Sudah selesaikah? Belum. Naskah tersebut harus saya ketik. Mengetiknya nggak pakai laptop atau handphone seperti kita lakukan sekarang. Saat itu, para penulis menggunakan mesin ketik.
Saya memiliki sebuah mesin ketik yang mumpuni untuk diajak bekerja. Bentuknya cantik. Mereknya cukup terkenal saat itu:Â brother.
Mesin ketik yang sudah lama saya istirahatkan di gudang itulah yang membantu saya setiap kali membuat naskah. Ia sangat berdedikasi. Loyalitasnya kepada tuannya tak diragukan. Asal saya ingat mengganti pitanya, membersihkannya secara rutin, maka dia selalu siap bertugas.
Begitulah, dengan mesin ketik tersebut, saya membuat naskah untuk saya kirim ke berbagai koran. Berharap agar naskah yang saya buat dengan berpayah-payah itu bisa dimuat. Naskah itu saya bawa langsung ke kantor pos terdekat.
Pelayanan  yang Ramah
Tentu saja naskah tersebut mesti dilengkapi dengan amplop dan dibelikan prangko secukupnya. Kalau mau tiba di alamat lebih cepat pakai prangko kilat tercatat; kalau tak dikejar waktu, pakai prangko yang biasa saja. Prangko yang berukuran segi empat mini itu ternyata menentukan cepat-lambatnya kiriman sampai di tujuan.
Saking seringnya saya ke kantor pos, sampai-sampai petugas di pelayanan setempat mengenal saya. Mereka akan menyapa, "Pak, mau kirim artikel ya? Ke koran mana sekarang?" begitu antara lain pertanyaan mereka.
Mereka tahu saya mengirim naskah ke koran lantaran melihat alamat tujuan surat yang saya kirim. Tertulis di amplop, "Yth. Redaksi Harian..." Atau, "Yth Redaksi Mingguan..., Â dan mereka bertanya, apa isi surat ini. Ya, saya bilang naskah atau artikel.
Saya terkesan sekali dengan pelayanan ramah dan cepat petugas kantor pos tempat saya sering berkirim surat yang berisi naskah itu.
Saatnya Menerima Weselpos
Tak hanya saya yang harus hadir ke kantor pos, ada saatnya saya akan dibawakan benda pos oleh pak pos ke rumah. Isinya? Jika tidak naskah yang dikembalikan oleh redaksi yang diantarkan, ya, weselpos.