Judul di atas agak aneh, mungkin. Kok empat hal seperti dipaksa dijejalkan dalam satu judul? Sungguh tidak menarik! Kurang menggigit. Tapi, baiklah, kendati mungkin tak menggigit dan tidak pula menarik, saya yakin pembaca sudah bisa menduga seperti apa alur pikir yang disiratkan dalam judul itu. Judul sudah mencerminkan isi.
Hari Postel ke-75
Baiklah, tanpa berpanjang pengantar wacana, tulisan ini saya buat khusus untuk ikut memperingati Hari Pos Telekomunikasi Telegraf (PTT) ke-75, 27 September 1945- 27 September 2020.
Saya baru tahu peringatan Hari penting tersebut, setelah ada beberapa sahabat  mengirimkan pesan melalui whatsaap group (WAG) yang berisi ucapan selamat. Lalu, saya periksa di kalender juga untuk lebih memastikannya.
Berangkat dari WAG tersebut, saya tertarik menulis tentang hal ini, kendati hanya bagian yang sangat kecil yang menjelaskan keterhubungan saya dengan kantor pos. Mari kita mulai.
Membuat Naskah
Dulu, ketika belum mengenal email, saya berkirim surat selalu menggunakan jasa kantor pos. Surat apa yang saya kirim? Yang paling sering adalah naskah artikel yang saya alamatkan ke koran-koran.
Ceritanya, begini. Setiap kali membuat naskah, saya akan memulainya dengan membuat draft pertama berupa tulisan tangan di kertas. Biasanya saya akan menggunakan kertas bekas pakai. Daripada dibuang percuma, sementara di balik bagian yang sudah dipakai, masih ada ruang kosong, di situlah saya goreskan pena.
Saya menulis artikel di atas kertas dari awal hingga selesai. Tentu saja keadaannya masih penuh dengan corat-coret di sana-sini. Tapi, dari draft pertama ini sudah menjadi jelas alur pikir naskah yang saya buat.
Kemudian, saya menyalin draft itu ke naskah kedua, masih menggunakan kertas bekas. Tapi, kali ini sudah lebih rapi, terstruktur dan sistematis. Masih dalam tulisan tangan.
Sudah selesaikah? Belum. Naskah tersebut harus saya ketik. Mengetiknya nggak pakai laptop atau handphone seperti kita lakukan sekarang. Saat itu, para penulis menggunakan mesin ketik.
Saya memiliki sebuah mesin ketik yang mumpuni untuk diajak bekerja. Bentuknya cantik. Mereknya cukup terkenal saat itu:Â brother.
Mesin ketik yang sudah lama saya istirahatkan di gudang itulah yang membantu saya setiap kali membuat naskah. Ia sangat berdedikasi. Loyalitasnya kepada tuannya tak diragukan. Asal saya ingat mengganti pitanya, membersihkannya secara rutin, maka dia selalu siap bertugas.
Begitulah, dengan mesin ketik tersebut, saya membuat naskah untuk saya kirim ke berbagai koran. Berharap agar naskah yang saya buat dengan berpayah-payah itu bisa dimuat. Naskah itu saya bawa langsung ke kantor pos terdekat.
Pelayanan  yang Ramah
Tentu saja naskah tersebut mesti dilengkapi dengan amplop dan dibelikan prangko secukupnya. Kalau mau tiba di alamat lebih cepat pakai prangko kilat tercatat; kalau tak dikejar waktu, pakai prangko yang biasa saja. Prangko yang berukuran segi empat mini itu ternyata menentukan cepat-lambatnya kiriman sampai di tujuan.
Saking seringnya saya ke kantor pos, sampai-sampai petugas di pelayanan setempat mengenal saya. Mereka akan menyapa, "Pak, mau kirim artikel ya? Ke koran mana sekarang?" begitu antara lain pertanyaan mereka.
Mereka tahu saya mengirim naskah ke koran lantaran melihat alamat tujuan surat yang saya kirim. Tertulis di amplop, "Yth. Redaksi Harian..." Atau, "Yth Redaksi Mingguan..., Â dan mereka bertanya, apa isi surat ini. Ya, saya bilang naskah atau artikel.
Saya terkesan sekali dengan pelayanan ramah dan cepat petugas kantor pos tempat saya sering berkirim surat yang berisi naskah itu.
Saatnya Menerima Weselpos
Tak hanya saya yang harus hadir ke kantor pos, ada saatnya saya akan dibawakan benda pos oleh pak pos ke rumah. Isinya? Jika tidak naskah yang dikembalikan oleh redaksi yang diantarkan, ya, weselpos.
Anda tentu sudah maklum bahwa weselpos adalah cara lama yang biasa digunakan untuk mengirim uang. Weselpos itu bisa di-uang-kan di kantor pos juga.
Mendapatkan honorarium dari koran sangat menyenangkan. Sangat menyenangkan! Saya merasa apa yang saya lakukan sudah terbalaskan dengan honorarium yang saya terima.
Berapa besarannya? Honor menulis selama ini tak pernah membuat saya tercengang. Paling banyak hanya bisa untuk mentraktir 3-4 orang kawan untuk makan malam sederhana saat itu.
Tapi, bukan tidak menghargai honorarium yang saya peroleh. Karena, dengan mengumpulkan uang dari menulis, sedikit demi sedikit, saya bisa membeli sandal, buku tulis, buku bacaan, dan jam weker, he he he. Sesekali, berani mentraktir (calon) pacar membeli bakso di warung Mas Dul di dekat perempatanan jalan ( yang terakhir ini hanya bercanda).
Artikel Dimuat
Akan tetapi, sesungguhnya yang paling membahagiakan adalah saat mengetahui dimuatnya naskah saya di koran. Melihat artikel dan nama saya terpampang di koran, perasaan hati  ini seperti terbang, melayang, he he he.
Itulah sekelumit hubungan saya dengan kantor pos, mesin ketik brother kesayangan, dan honorarium dari menulis artikel.
Beberapa tahun belakangan ini, saya tak lagi harus ke Kantor Pos karena sudah bisa mengirim naskah melalui email.
Lama tak ke Kantor Pos, kangen juga ke sana. Ketika belakangan saya ke situ untuk sebuah keperluan, saya tak temui lagi pegawai yang dulu. Mereka sepertinya sudah pindah tugas atau mendapatkan promosi ke jabatan lebih tinggi.
Yang ada adalah tenaga-tenaga muda yang melayani dengan sigap, energik, dan penuh senyum.
Akhirnya saya mengucapkan Selamat Hari Pos dan Telekomunikasi Telegraf, 27 September 2020 kepada PT Pos Indonesia.
( I Ketut Suweca, 27 September 2020)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI