Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Belajar dari Pengalaman Menulis Buku Nonfiksi ala Wishnubroto Widarso

17 September 2020   18:30 Diperbarui: 18 September 2020   14:18 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dok. pribadi (Pengalaman Menulis Buku Nonfiksi karya Wishnubroto Widarso)

Menulis buku menjadi salah satu goal yang acap diimpikan para penulis. Tak puas hanya dengan menulis artikel-artikel opini lepas, mereka pun ingin meningkat lagi ke penulisan buku.

Sebagian penulis sudah berhasil menulis buku, bahkan lebih dari satu judul. Sebagian lagi, belum sampai di sana. Mereka tetap pada niat untuk, pada saatnya, masuk ke tahapan menulis buku.

Buku Wishnubroto

Terkait pembicaraan tentang penulisan buku, khususnya buku nonfiksi, saya ingin mengajak sahabat kompasianer dan pembaca umumnya menengok pengalaman Wishnubrotoo Widarso dalam menulis buku nonfiksi.

Ikhwal penulisan buku tersebut dituangkannya ke dalam sebuah buku yang berjudul Pengalaman Menulis Buku Nonfiksi. Ini sebuah buku tipis, hanya 88 halaman, diterbitkan Penerbit Kanisius, Yogyakarta.  Wishnubroto sudah menulis beberapa buku, dan di dalam buku inilah dipaparkan sebagian dari pengalamannya itu.

Kendati buku ini terbilang tipis, namun secara keseluruhan isinya bagus dan menginspirasi. Buku ini sangat pas dibaca oleh mereka yang memiliki keinginan kuat untuk menulis buku. Bisa dijadikan sebagai bahan masukan sekaligus motivasi agar lebih bersemangat lagi menulis buku nonfiksi.

Lima Hal Penting

Apakah isi buku ini? Seperti disampaikan oleh penulisnya, buku ini sama sekali tidak memuat teori menulis. Tidak ada teori di dalamnya. Materinya melulu seputar pengalaman Wishnubroto menulis buku nonfiksi.

"Saya berharap pembaca akan mendapat gambaran yang gamblang tentang bagaimana seseorang berjuang mewujudkan ilham atau idenya dalam bentuk buku," paparnya dalam Pengantar buku yang terdiri dari dua bagian (bab) ini.

Dalam buku ber-cover menarik ini, si penulis berkisah tentang bagaimana dia menyambut datangnya ilham menulis, merenungkannya, mengembangkannya, dan akhirnya menuangkannya ke dalam bentuk naskah. Ikhwal bagaimana berhubungan dengan penerbit juga dijelaskan di sini.

Saya menemukan  5 hal penting  dan menarik dari buku tersebut yang saya paparkan berikut ini.

Pengalaman Sendiri dan Orang Lain

Pertama, menulis buku menjadi lebih mudah dengan mengangkat pengalaman pribadi sang penulisnya. Sebagai dosen bahasa Inggris, Wishnubroto mengangkat materi dari pengalamannya mengajar sebagai bahan atau contoh. Hal ini dikisahkannya ketika ia menulis buku yang berjudul Kiat Menulis dalam Bahasa Inggris.

Wishnubroto benar. Hal-hal yang kita alami akan  lebih mudah ditulis. Di samping karena mengalaminya sendiri, kita juga mengetahui detailnya. Dengan terlibat dalam berbagai aspeknya, maka menuliskannya menjadi jauh lebih gampang.

Kedua, mengambil inspirasi dari pengalaman orang lain. Orang bisa belajar menulis dari teori menulis. Pentingkah teori itu? Tentu saja penting dan perlu belajar teori. Tanpa teori kita bisa saja menulis namun tanpa rambu-rambu. Mengkhawatirkan juga hasilnya. Maka, belajar teori harus dilakukan.

Di samping itu, belajar dari pengalaman orang lain tidak kalah pentingnya. Masalahnya, teori dan pengalaman nyata, bisa jadi tidak sama persis. Akan ada perbedaan di antara keduanya. Maka, menjadi penting untuk belajar teori plus pengalaman orang lain.

Di sinilah letak urgensinya membaca buku karya Wishnubrotoni, karena kita bisa belajar dari pengalamannya.

Penyuntingan dan Kesabaran

Ketiga, kesediaan melakukan perbaikan naskah berkali-kali. Menulis buku tentu tak bisa sekali jadi. Diperlukan proses penyuntingan berkali-kali dan detail saat penulisan hingga final. Proses editing ini sangat penting dalam upaya mengurangi kesalahan, baik yang berkenaan dengan isi maupun penggunaan bahasa.

Tidak hanya penyuntingan saat naskah buku itu ditulis, bahkan setelah tiba di meja penerbit! Bukan tidak mungkin penerbit akan mengembalikan naskah buku dimaksud untuk diedit kembali oleh penulisnya sesuai dengan saran-saran perbaikan yang disampaikan.  Untuk bisa diterbitkan, mau tak mau, penulis harus mengikuti saran penerbit.

Keempat, waktu penerbitan yang lama. Proses pembacaan dan penilaian naskah di penerbit terkadang cukup lama, sekitar 3 bulan. Di sini diperlukan kesabaran untuk menunggu jawaban penerbit apakah buku yang dikirim tersebut layak diterbitkan atau ditolak. Waktu yang saya sebutkan itu bahkan bisa lebih lama lagi.

Belum lagi kendala dan keterbatasan waktu yang dialami oleh penerbit sendiri. Mungkin naskah buku yang disetujuinya cukup banyak sehingga harus mengikuti antri. First in, fisrt out, begitulah pada umumnya berlaku. 

Seperti yang dialami Wishnubroto, ia bahkan harus menunggu selama 3 tahun agar naskahnya bisa terbit menjadi buku. Naskah bukunya yang berjudul Going Abroad:  A Book of Coversations yang sudah disetujui untuk diterbitkan pada Mei 1991, tapi baru keluar menjadi buku pada akhir Desember 1994.

Kutipan, Relevansi, dan Kejujuran

Kelima, penempatan kutipan kata-kata bijak atau kutipan para ahli. Wishnobroto mengisahkan dalam buku ini, sedikitnya ada tiga temannya yang agak keberatan dengan kutipan-kutipan dalam bukunya tentang pengembangan kepribadian (personality development) yang berjudul Kiat Hidup Sukses.

Menanggapi keberatan temannya itu, Wishnubroto menyatakan bahwa kutipan dari berbagi sumber yang relevan sangatlah penting asalkan cocok dengan topik yang sedang dibahas. Penempatannya harus pas.

Lagipula kutipan yang dimasukkan dengan menunjukkan sumbernya merupakan bentuk kejujuran. Penulis  harus jujur. Memiliki integritas.

Ditambahkan, dengan mengangkat kutipan-kutipan tersebut ke dalam naskah buku, pertama-tama akan menyenangkan penulis aslinya, selanjutnya akan menyenangkan pembaca karena mendapatkan pengayaan.

Itulah beberapa hal yang bisa dipelajari dari pengalaman menulis buku nonfiksi karya Wishnubroto Widarso, pria kelahiran Purworejo, 10 Oktober 1057, yang bermukim di Solo ini.

Sebelum menyudahi attikel ini, saya kutipkan quote Wishnubroto Widiarsa sbb.:

"Aku menulis buku agar gambaran pribadiku tak cuma luluh-lantak binasa ditelan Sungai Sang Kala, tapi tergurit di atas ingatan kerabat-sobat-hadai-tolan." 

( I Ketut Suweca, 17 September 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun