Pernahkah pembaca mendengar tentang Hukum Karmaphala?Â
Atau, sering disingkat dengan Hukum Karma?Â
Lalu, apa yang dimaksud dengan Hukum Karmaphala di lingkungan masyarakat Bali?
Bagaimana keyakinan itu demikian merasuk sebagai salah satu modal sosial (social capital) berupa tata nilai (norms) dalam tatanan kehidupan manusia Bali?Â
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam artikel singkat ini.
Mendefinisikan Karmaphala
Karmaphala terdiri dari 2 kata yang tergabung menjadi satu, yaitu kata "karma" dan "phala". "Karma" artinya perbuatan dan "phala" bermakna "hasil". Dengan demikian, karmaphala berarti hasil perbuatan.
Yang disebut karma di sini tidak melulu berupa tindakan atau tingkah laku. Karma bahkan sudah dimulai dari pikiran, kemudian berlanjut ke perkataan, dan perbuatan.Â
Apa yang kita lakukan berawal dari pikiran, baik pikiran positif maupun negatif. Apa yang kita pikirkan kemudian diwujudkan ke dalam perkataan dan/atau perbuatan nyata.
Dalam hinduisme dikenal ada 3 (tiga) jenis karmaphala, yaitu sancita, prarabda, dan kriyamana.Â
Pertama, sancita adalah hasil perbuatan pada kehidupan yang lalu yang diterima saat sekarang. Apa yang pernah kita perbuat dalam kehidupan sebelumnya akan kita terima pada saat kehidupan kini.
Itulah mengapa ada orang yang sudah berusaha berbuat baik saat ini, tetap saja dia bernasib buruk, tertimpa kemalangan. Apa yang dilakukannya sekarang seakan-akan tak cocok dengan pahala yang dipetiknya. Ya, itu karena ia sedang menuai hasil saat ini dari perbuatan yang pernah dilakukan saat kehidupan sebelumnya.
Kedua, prarabda. Istilah ini merujuk pada perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini dan dinikmati pula hasilnya saat ini. Orang-orang yang sudah berbuat baik kepada orang lain dan kehidupan pada umumnya, menerima hasil perbuatannya, tak lama setelah perbuatan itu dilakukan, baik atau buruk hasilnya.
Contohnya, makanlah cabai dan rasakan pedasnya sekarang juga. Pukul-lah orang dan rasakan balasannya sekarang juga.
Intinya, prarabda adalah ajaran yang merujuk pada suatu perbuatan sekarang yang akan diterima hasilnya pada kehidupan saat ini juga.
Ketiga, kriyamana. Ajaran ini menyatakan bahwa apa yang kita lakukan saat kehidupan sekarang bisa kita terima dalam kehidupan kemudian. Hasil perbuatan kita tidak habis kita nikmati pada kehidupan sekarang.Â
Hal ini sejalan dengan konsep reinkarnasi yang diyakini masyarakat Hindu di Bali, yakni adanya kelahiran kembali.
Nah, jika ada orang berbuat jahat, misalnya, tapi tak juga dikenai ganjaran dari hasil kejahatannya pada kehidupan kini, maka tak pelak lagi ia akan mendapatkan hukuman setimpal pada kehidupannya kelak ketika ia lahir kembali.Â
Apa dan bagaimana bentuk dan jenis hukumannya, hanya Tuhan yang mengetahui dan menentukan.
Berusaha Berbuat Baik
Nah, siapa pun orang yang meyakini berlakunya hukum karmaphala, maka ia akan senantiasa berusaha berbuat baik. Berbuat baik dimulai dari berpikir yang baik, berkata-kata yang baik, dan bertindak atau berperilaku yang baik.
Landasan dasarnya adalah ajaran Trikaya Parisudha, yang meliputi berpikir (manacika), berkata (wacika), dan berbuat (kayika) yang dilandasi kebaikan sesuai dengan ajaran ketuhanan. Ketiga hal itulah yang harus dikendalikan dan disucikan (di-parisudha) agar menjadi baik.
Dengan dasar keyakinan seperti itu, maka orang yang meyakininya akan berpikir berkali-kali jika hendak melakukan hal-hal yang tercela.Â
Mereka pasti akan memikirkan akibatnya, risiko, atau pahala dari hasil karmanya. Karena, seperti yang diyakini, semua hasil atau pahala akan kembali padanya.
Konsep turunannya yang tumbuh di dalam masyarakat mewujud dalam ungkapan "ayu kinardi, ayu pinanggih; ala ulah, ala ditemu."
Terjemahan bebasnya: kalau kita berbuat baik, maka kebaikanlah yang akan kita petik. Sebaliknya, jika kita berbuat jahat, maka keburukan yang pasti akan menimpa kita.
Dan, kita tak bisa sembunyi kemana-mana dan di mana pun untuk menghindari hukum ini. Pasti akan diterima hasilnya, cepat atau lambat. Oleh karena itu, di Bali orang sering bilang begini, "Ah, nggak usah dibalas perbuatan buruknya itu. Lihat saja nanti, orang itu pasti akan menerima hasil perbuatannya. Pasti terkena Hukum Karmaphala!"
Terkait ini, masyarakat pada umumnya mengenal istilah hukum sebab-akibat atau hukum kausalitas. Setiap akibat, pasti ada penyebabnya. Setiap sebab, pasti akan menimbulkan akibat.Â
Orang menyebutnya juga dengan hukum tabur-tuai. Siapa yang menabur, dialah yang menuai.
Demikianlah, Hukum Karmaphala sebagai modal sosial warisan leluhur masih menjadi keyakinan dan pegangan hidup manusia Bali hingga saat ini.
(I Ketut Suweca, 27 Agustus 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H