Mereka pasti akan memikirkan akibatnya, risiko, atau pahala dari hasil karmanya. Karena, seperti yang diyakini, semua hasil atau pahala akan kembali padanya.
Konsep turunannya yang tumbuh di dalam masyarakat mewujud dalam ungkapan "ayu kinardi, ayu pinanggih; ala ulah, ala ditemu."
Terjemahan bebasnya: kalau kita berbuat baik, maka kebaikanlah yang akan kita petik. Sebaliknya, jika kita berbuat jahat, maka keburukan yang pasti akan menimpa kita.
Dan, kita tak bisa sembunyi kemana-mana dan di mana pun untuk menghindari hukum ini. Pasti akan diterima hasilnya, cepat atau lambat. Oleh karena itu, di Bali orang sering bilang begini, "Ah, nggak usah dibalas perbuatan buruknya itu. Lihat saja nanti, orang itu pasti akan menerima hasil perbuatannya. Pasti terkena Hukum Karmaphala!"
Terkait ini, masyarakat pada umumnya mengenal istilah hukum sebab-akibat atau hukum kausalitas. Setiap akibat, pasti ada penyebabnya. Setiap sebab, pasti akan menimbulkan akibat.Â
Orang menyebutnya juga dengan hukum tabur-tuai. Siapa yang menabur, dialah yang menuai.
Demikianlah, Hukum Karmaphala sebagai modal sosial warisan leluhur masih menjadi keyakinan dan pegangan hidup manusia Bali hingga saat ini.
(I Ketut Suweca, 27 Agustus 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H