Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menakar Kemajuan Menulis

15 Mei 2020   18:14 Diperbarui: 17 Mei 2020   05:23 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: unsplash/@kellybritostudio)

Bagaimana kita bisa mengetahui apa yang kita kerjakan selama ini telah mencapai kemajuan?

Bagaimana kita mengukur atau menakarnya?

Adakah sejumlah tolok ukur yang relatif bisa diandalkan?

Itulah beberapa pertanyaan untuk kita diskusikan pada kesempatan ini, terutama yang berhubungan dengan progress menulis di kompasiana.

Menakar kemajuan menulis berarti melihat secara saksama seperti apa progress kita dalam berkarya selama ini, sejak awal menulis di sini hingga sekarang. Dari situ kita akan mengetahui apakah kita sudah mencapai kemajuan demi kemajuan dalam menulis atau tetap sama saja dengan ketika baru memulai.

Saya kira hal ini penting agar kita bisa melihat secara keseluruhan pencapaian selama di kompasiana atau di media lain tempat kita kerap menulis.

Lalu, bagaimana kita mengukur kemajuan itu? Mari kita coba melihat seberapa jauh kemajuan yang kita capai dengan menggunakan 3 tolok ukur sederhana ini, yakni dengan membandingkan tulisan kita sendiri di awal dengan yang di akhir, dengan melihat kunjungan dan tanggapan pembaca, serta dengan memerhatikan sharing tulisan kita di blog orang lain.

Membandingkan Hasil Karya Sendiri
Pertama, membandingkan karya sendiri. Bagi sebagian dari kita yang sudah satu, dua, tiga tahun atau bahkan lebih bergabung di kompasiana, bisa melakukan pendekatan perbandingan ini.

Saya yakin sudah (cukup) banyak artikel yang berhasil kita unggah di sini. Dari waktu ke waktu kita selalu berusaha membuat artikel sehingga secara akumulatif jumlahnya meningkat, di samping mengusahakan menghadirkan tulisan yang semakin baik secara kualitas.

Sebagai contoh, Mbak Hennie Triana, sahabat yang selalu hadir dengan artikel-artikel cantik dan menambah wawasan kita, sempat melihat dan membandingkan artikel di awal-awal beliau menulis dengan yang sekarang. Mbak Hennie mengatakan betapa "berantakan" artikelnya di awal-awal menulis.

Beliau mengakui, seperti itulah keadaannya dulu. "...tulisan lama saya yang berantakan penampilannya, bahkan banyak yang hilang komentar dan gambarnya, perlahan saya rapikan.

Tapi bentuk tulisannya masih sama, sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran untuk saya," tulis Mbak Hennie saat membahas tulisan perdananya itu dalam artikel Merawat Tulisan Lama yang Terbengkalai, dimuat 13 Mei 2020. 

Beliau menyebut, kendati sudah berusaha memperbaikinya, tetap saja tak bisa maksimal. Tentu beliau sendiri bisa melihat perbedaan artikel di awal dengan artikel yang beliau tulis sekarang ini. Kita juga bisa melihat betapa bagus kualitas tulisan beliau.

Terkait dengan evaluasi kecil-kecilan terhadap tulisan lama juga, sahabat kita dan sahabat lama saya, Bapak Katedrarajawen, memiliki kenangan tersendiri. Tulisan beliau di awal-awal hadir dengan paragraf yang pendek, to the point, berisi, dan menarik. Saya suka membacanya.

Inilah komentar Pak Katedrarajawen di kolom komentar lapak saya baru-baru ini:

"Untungnya waktu pertama nulis di kompasiana malah lupa takut dan malu, justru setelah udah lama baru muncul perasaan itu, Bli... Lah kok berani-beraninya padahal gak ngerti apa apa soal dunia menulis. Modal nekat dan gak tahu malu."

Begitulah tulis beliau di kolom komentar artikel saya sebelum ini yang berjudul Inilah Ketakutan yang Paling Sering Menghantui Penulis Pemula.

Itu hanya dua contoh. Saya pun mengalami banyak "rasa malu" kalau kembali membaca tulisan pada awal-awal bergabung di kompasiana. Di samping karena kontennya yang sekadar saja, juga tanpa gambar atau foto pendukung. Waktu itu, bahkan beberapa tahun kemudian, saya tak peduli dengan gambar ilustrasi di artikel. Yang penting menulis, pikir saya.

Lagi pula, tulisan saya rata-rata dangkal dan pendek-pendek. Beberapa tak sampai dua halaman tayang. Dan,hingga kini saya masih saja belum bisa secara maksimal memperbaiki semua kekurangan yang pernah ada selama ini.

Saya belum mampu menggali dengan "ceruk yang dalam" -- meminjam istilah Kompas, seperti dilakukan oleh sejumlah sahabat di sini. Saya juga kurang melakukan riset referensi berkenaan dengan topik yang  saya angkat.

Memerhatikan Kunjungan Pembaca
Kedua, melihat perkembangan kunjungan pembaca. Trend kunjungan pembaca dari waktu ke waktu bisa menggambarkan kemajuan kita dalam dunia tulis-menulis. Apakah rata-rata kunjungan pembaca relatif sama jumlahnya ataukah bertambah? Apakah kian banyak pembaca yang hadir di tulisan kita atau selalu saja sepi?

Untuk melihat kunjungan ini memang agak sulit, tapi paling tidak trend-nya dapat dilihat di beberapa artikel pada setiap tahunnya. Pengunjung artikel kita memang datang dan hilang, silih berganti. Tak mengapa. Yang penting kecenderungannya: apakah ada penambahan secara jumlah secara rata-rata atau tidak?

Sekadar contoh kecil yang saya alami. Kunjungan sahabat pada saat awal-awal berkompasiana masih sangat sedikit. Bersamaan dengan perkembangan keterlibatan saya di sini, kunjungan itu kian lama kian bertambah jumlahnya karena semakin banyak sahabat yang saya kenal secara online di kompasiana.

Bahkan saya sempat membuat buku yang saat itu, terbit Mei 2013, dengan judul Menulis dengan Modal Nekat yang dihimpun dari tulisan berseri di sini. Di samping memuat tulisan yang pernah tayang dengan tema I Love Writing (tulisan berseri), komentar teman-teman pun termuat di dalam buku. Saat itu, lumayan banyak sahabat yang hadir di lapak saya. Senang sekali rasanya.

Namun kemudian, lama tidak aktif karena mengikuti pendidikan dan tak mau kehilangan fokus. Saya terpaksa bilang good bye untuk beberapa tahun lamanya. Akhirnya, saya pun kembali berkompasiana pada  tahun 2019. Apa yang saya rasakan? Sepi pengunjung!

Tangan saya terasa tak lentur lagi setiap kali membuat kata-kalimat untuk sebuah artikel, respon pengunjung pun sangat sedikit. Saya merasa kesepian. Hal ini saya paparkan di artikel Menjadi Kompasianer yang Kesepian di Usia 11 Tahun Kompasiana, tayang pada 7 November 2019.

Bersyukurlah bersamaan dengan bergulirnya waktu, kehadiran para sahabat semakin bertambah. Hal ini, antara lain, karena saya juga berusaha untuk berkunjung (blogwalking) ke lapak para sahabat. Saling berbalas kunjungan pun terwujud secara intens.

Artikel Dimuat di Blog Lain
Ketiga, sharing artikel di blog lain. Topik ini pertama kali ditulis oleh Bapak Tjiptadinata Effendi, kompasianer senior yang menjadi panutan saya. Beliau dikenal dengan artikel-artikel yang memotivasi dan sarat makna, berakar dari pahit-manis kehidupan yang beliau jalani.

Dikatakan, di samping K-Reward dari Kompasiana, ada reward lain yang bisa didapat. Apa gerangan maksud beliau? Dalam artikel Inilah K-Reward dalam Bentuk Lain, Pak Tjip -- demikian saya memanggil senior kita ini, menulis, ".... sesungguhnya selain dari K-Reward yang secara resmi dibagikan kepada para penulis yang dianggap memenuhi kriteria, ada reward lainnya, yang tak ternilai, yakni tulisan kita di share-kan di berbagai blog pribadi."

Pak Tjip menjelaskan dengan memberi sekadar contoh beberapa blog yang pernah memuat kembali tulisan beliau yang aslinya bersumber dari tulisan beliau di kompasiana. Pengalaman dan perjalanan penulisan yang mengesankan.

Nah, adakah artikel kita di kompasiana yang kemudian diunggah orang lain di blog mereka? Mungkin sudah ada beberapa, bahkan sudah banyak. Silakan di-cek.  Jika ada, maka patut disyukuri, karena itu pertanda kita telah mengalami kemajuan di bidang tulis-menulis. Catatannya, semoga dalam pemuatan di blog lain itu tetap menyebut penulis asli dan sumbernya.

Di samping pemuatan di blog lain, jika artikel kita acapkali  dikutip, baik di kompasiana sendiri maupun di blog lain, menurut saya, itu juga menjadi pertanda telah ada kemajuan yang sangat berarti dalam kemampuan kita di dunia tulis-menulis. Mirip dengan skripsi, tesis, atau disertasi yang dikutip oleh mahasiswa belakangan.

(I Ketut Suweca, 15 Mei 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun