Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Adakah Cara Bijak Mengendalikan Kemarahan?

7 Mei 2020   08:44 Diperbarui: 7 Mei 2020   09:24 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat kompasiana yang budiman, apa kabar? Saya mohon ijin untuk hadir lagi dalam kebersamaan  kita di sini. Semoga semua sahabat dalam keadaan sehat-walafiat. Oh ya, pada kesempatan ini saya menyampaikan Selamat Hari Tri Suci Waisak kepada semua sahabat yang merayakannya. Semoga selalu dalam lindungan dan kasih Tuhan, damai di hati, damai di dunia, dan damai senantiasa.

Kali ini saya mengangkat topik tentang kemarahan, sesuatu yang kadang-kadang muncul dalam diri kita sebagai manusia. Mungkin kita pernah dimarahi oleh orang lain. Atau sebaliknya, kita yang marah terhadap orang lain. Kemarahan itu sejatinya sebuah sifat yang melekat pada diri manusia. Kemunculannya memiliki intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda pada setiap orang.

Kemarahan Itu Potensial

Apakah kemarahan itu bisa dihilangkan sama sekali? Saya kira tidak bisa. Ia ada dan melekat pada diri manusia, yang apabila mendapatkan rangsangan dari luar dan didukung pula oleh keadaan diri, maka ia akan keluar, bahkan bisa meledak.

Kemarahan itu akan tetap ada sebagaimana rasa benci, iri, dengki, pada diri manusia. Hanya yang terpenting adalah, bagaimana mengendalikan diri sehingga tidak dikendalikan oleh rasa marah itu.

Sebelum melanjutkan membahas tentang rasa marah itu, ijinkan saya mengajak pembaca menikmati sebuah cerita lama yang sudah cukup dikenal. Siapa tahu di antara kita ada yang belum pernah membaca atau mendengarnya. Saya sendiri pernah membaca cerita ini dari sebuah buku, entah buku apa, sudah sangat lama.

Saya akan menceritakannya kembali berdasarkan kemampuan saya mengingat dengan sedikit variasi dan imajinasi tanpa menghilangkan hakikat cerita di dalamnya. Judulnya: Ular dan Gergaji. Mari kita mulai.

Dikisahkan, para penebang hutan tengah istirahat makan siang. Tugasnya untuk menebangi pohon-pohon besar terpilih untuk nantinya sebagai bahan berbagai keperluan perabotan kebutuhan manusia, sejenak dihentikan. Saatnya makan siang dan istirahat.

Mereka menuju ke sebuah pondok kecil tak jauh dari situ. Pondok darurat itu sengaja mereka buat untuk sekadar tempat beristirahat. Seperti biasa, mereka tak membawa serta peralatan ke tempat istirahat, melainkan membiarkan di lokasi penebangan.

Nah, pada saat mereka beristirahat itulah datang seekor ular besar ke lokasi para tukang tadinya  bekerja. Ular itu bergerak perlahan, sambil mendesis-desis. Para tukang yang tengah makan siang di pondok sama sekali tidak mengetahui kejadian ini. Apalagi usai makan mereka melanjutkan dengan acara leyeh-leyeh sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan.

Si ular bergerak melewati peralatan tukang yang tergeletak di situ, tak terkecuali sebuah gergaji besar yang geriginya menghadap ke atas. Ketika bergerak di atas gergaji itu, bagian bawah tubuh sang ular tergores oleh gergaji tersebut. Si ular mengalami luka gores yang relatif panjang. Tidak terima dengan keadaan itu, dia pun marah. Ia lalu mematuk gergaji itu. Saking marahnya, ia lalu menggigit dengan sekeras-kerasnya, berulang kali.

Apa yang terjadi? Mulut sang ular terluka parah oleh gerigi gergaji yang ternganga ke atas itu. Keadaan ini membuat kemarahannya menjadi-jadi, meledak! Akhirnya dengan sekuat tenaga ia melilit gergaji itu seperti membelit binatang korban sebelum ditelannya bulat-bulat.

Alhasil, ular itu terluka sangat parah. Tak hanya mulutnya, sekujur tubuhnya pun terluka parah. Darahnya mengucur keluar, sangat mengenaskan. Si ular akhirnya mati dalam posisi "memeluk" gergaji. Penebang kayu yang kemudian datang sangat  terkejut melihat kejadian itu. Cerita di atas pun berakhir.

Penyesalan yang Terlambat

Apa hikmah yang dapat kita petik? Kemarahan yang tak dikendalikan akan menjadi-jadi dan semakin parah. Kemarahan yang tak terkendali  lebih banyak merugikan dan merusak diri sendiri.  Kemarahan dapat memperkeruh perasaan dan menutup rapat kemampuan berpikir rasional. Semuanya dikendalikan oleh rasa marah.

Yang terjadi setelah itu hanyalah penyesalan. Hanya sayang, penyesalan itu datangnya terlambat. Orang sampai hati membunuh orang lain bahkan anggota keluarganya sendiri sering karena kemarahan yang tak terkendali. Orang bisa mengamuk dan merusak semua yang ada juga karena rasa marah yang tak terkontrol. Orang bisa mengeluarkan kata-kata kasar karena rasa marah yang tak terkendali. Alhasil, kemarahan itu pada akhirnya bersifat destruktif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Antara Peristiwa, Respon, dan Hasil

Kemarahan itu muncul sebagai respon dari suatu peristiwa atau keadaan tertentu. Kita seringkali memandang peristiwa atau keadaan itulah yang satu-satunya menjadi penyebab munculnya kemarahan, seperti sang ular yang "menyalahkan" gergaji.  

Kemarahan yang diekspresikan itu sebenarnya hanyalah respon, sedangkan peristiwa atau kejadian itu adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita. Nah, kita bisa memilih respon yang kita berikan terhadap suatu kejadian atau peristiwa tadi. Apakah kita memilih tetap tenang atau sebaliknya, marah meledak-ledak terhadap suatu kejadian, tergantung kita saja. Respon yang kita berikan menentukan hasil yang kita dapatkan. Dalam dunia psikologi, begini rumus sederhananya:

peristiwa + respon = hasil

Ada orang yang dicaci maki, memilih mencaci makin balik. Ada pula yang memilih memukul si pencaci. Ada yang memilih berdiam diri. Ada juga yang memilih berbalik pergi dan tak peduli. Jadi, sekali lagi, tergantung dari respon kita terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang langsung maupun tidak langsung menimpa kita.

Dengan demikian, kita-lah yang sesungguhnya menentukan mau seperti apa hasilnya, mau seperti apa akibatnya. Karena, dalam banyak hal, kejadian atau peristiwa berlangsung di luar kendali kita. Seperti apa hasilnya, tergantung pada respon kita, tanggapan kita.

Kemarahan adalah respon yang mungkin kita pilih terhadap suatu kejadian yang menimpa kita yang barangkali menyangkut harga diri atau alasan lainnya. 

Tetapi, tetap harus diingat bahwa kemarahan yang tak terkendali tak pernah berakhir dengan baik melainkan sering menimbulkan penyesalan yang dalam. Kendali diri dengan akal sehat selalu harus dihadirkan untuk mendampinginya.

 ( I Ketut Suweca, 7 Mei 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun