Sahabat kompasiana yang budiman, apa kabar? Saya mohon ijin untuk hadir lagi dalam kebersamaan  kita di sini. Semoga semua sahabat dalam keadaan sehat-walafiat. Oh ya, pada kesempatan ini saya menyampaikan Selamat Hari Tri Suci Waisak kepada semua sahabat yang merayakannya. Semoga selalu dalam lindungan dan kasih Tuhan, damai di hati, damai di dunia, dan damai senantiasa.
Kali ini saya mengangkat topik tentang kemarahan, sesuatu yang kadang-kadang muncul dalam diri kita sebagai manusia. Mungkin kita pernah dimarahi oleh orang lain. Atau sebaliknya, kita yang marah terhadap orang lain. Kemarahan itu sejatinya sebuah sifat yang melekat pada diri manusia. Kemunculannya memiliki intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda pada setiap orang.
Kemarahan Itu Potensial
Apakah kemarahan itu bisa dihilangkan sama sekali? Saya kira tidak bisa. Ia ada dan melekat pada diri manusia, yang apabila mendapatkan rangsangan dari luar dan didukung pula oleh keadaan diri, maka ia akan keluar, bahkan bisa meledak.
Kemarahan itu akan tetap ada sebagaimana rasa benci, iri, dengki, pada diri manusia. Hanya yang terpenting adalah, bagaimana mengendalikan diri sehingga tidak dikendalikan oleh rasa marah itu.
Sebelum melanjutkan membahas tentang rasa marah itu, ijinkan saya mengajak pembaca menikmati sebuah cerita lama yang sudah cukup dikenal. Siapa tahu di antara kita ada yang belum pernah membaca atau mendengarnya. Saya sendiri pernah membaca cerita ini dari sebuah buku, entah buku apa, sudah sangat lama.
Saya akan menceritakannya kembali berdasarkan kemampuan saya mengingat dengan sedikit variasi dan imajinasi tanpa menghilangkan hakikat cerita di dalamnya. Judulnya: Ular dan Gergaji. Mari kita mulai.
Dikisahkan, para penebang hutan tengah istirahat makan siang. Tugasnya untuk menebangi pohon-pohon besar terpilih untuk nantinya sebagai bahan berbagai keperluan perabotan kebutuhan manusia, sejenak dihentikan. Saatnya makan siang dan istirahat.
Mereka menuju ke sebuah pondok kecil tak jauh dari situ. Pondok darurat itu sengaja mereka buat untuk sekadar tempat beristirahat. Seperti biasa, mereka tak membawa serta peralatan ke tempat istirahat, melainkan membiarkan di lokasi penebangan.
Nah, pada saat mereka beristirahat itulah datang seekor ular besar ke lokasi para tukang tadinya  bekerja. Ular itu bergerak perlahan, sambil mendesis-desis. Para tukang yang tengah makan siang di pondok sama sekali tidak mengetahui kejadian ini. Apalagi usai makan mereka melanjutkan dengan acara leyeh-leyeh sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan.
Si ular bergerak melewati peralatan tukang yang tergeletak di situ, tak terkecuali sebuah gergaji besar yang geriginya menghadap ke atas. Ketika bergerak di atas gergaji itu, bagian bawah tubuh sang ular tergores oleh gergaji tersebut. Si ular mengalami luka gores yang relatif panjang. Tidak terima dengan keadaan itu, dia pun marah. Ia lalu mematuk gergaji itu. Saking marahnya, ia lalu menggigit dengan sekeras-kerasnya, berulang kali.