Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi negara, yang berfungsi untuk mendanai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam mengelola anggaran negara, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dan menciptakan keberlanjutan fiskal, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada tahun 2025.
Kenaikan tarif PPN ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara yang diperlukan untuk membiayai berbagai program sosial, infrastruktur, dan kesehatan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama di kalangan kelompok ekonomi menengah ke bawah. Kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Selain itu, diketahui bahwa penetapan PPN 11% baru saja diberlakukan, yaitu pada 1 April 2022 dan sebelumnya PPN 10% diberlakukan hingga akhir Maret 2021. Pada akhirnya PPN dinaikkan kembali menjadi 12% pada 1 januari 2025. Kenaikan ini tidak semata-mata dinaikkan tanpa ada peraturan yang jelas. Kenaikkan PPN ini berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu UU No. 7 Tahun 2021 Bab 4 Pasal 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)
Pada dasarnya kenaikkan PPN ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Kenaikan PPN ini telah disesuaikan pada APBN 2025 dan juga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, PPN memegang peran penting dalam dalam mendanai berbagai program pemerintah.Â
Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi dampak dari kenaikan PPN 12% terhadap ekonomi rakyat dan bagaimana kebijakan ini sejalan dengan kebutuhan pendapatan negara. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi ekonomi dan sosial dari kebijakan tersebut, serta untuk memberikan rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi yang dapat meminimalisir beban ekonomi masyarakat.Â
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari kajian ini adalah:
Apa yang menjadi latar belakang dalam menetapkan tarif PPN sebesar 12% pada tahun 2025?
Bagaimana dampak kenaikan tarif PPN 12% terhadap pendapatan negara?
Apa saja implikasi ekonomi dari kenaikan PPN terhadap masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah?
Menurut Mardiasmo (2003:11), "Pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa imbalan yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk pengeluaran umum". Selain menurut Mardiasmo, Hidayah (2008:65) menyatakan bahwa pajak adalah iuran yang harus dibayar oleh wajib pajak kepada negara berdasarkan undang-undang dan tidak memperoleh balas jasa secara langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pajak adalah iuran yang wajib dibayar bagi rakyat di suatu negara dan hasil dari pajak tersebut tidak dirasakan langsung oleh pembayar pajak tersebut.
Berdasarkan cara pemungutannya, pajak terbagi dua, yaitu Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak Langsung adalah pajak yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain, pajak ini harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat diwakilkan. Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Bangunan (PBB) dll.. Sedangkan, Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain, pembayarannya dapat diwakilkan kepada pihak lain. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai baik dari barang ataupun jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen akhir (Kemenkeu, 2021). Selain itu PPN juga didefinisikan sebagai sebagai pajak konsumsi yang ditujukan atas pengenaan barang kena pajak dan jasa kena pajak yang yang ada di dalam daerah pabean. Pajak ini dikenakan atas setiap nilai yang dapat diidentifikasi dalam peredarannya dari produsen ke konsumen (Renata et al., 2016)
Pada dasarnya, pajak memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
Stabilisator Ekonomi.
Pajak dapat berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan menstabilkan perekonomian. Dalam situasi ekonomi yang booming, pemerintah dapat meningkatkan pajak untuk mengurangi inflasi. Sebaliknya, dalam kondisi resesi, pemerintah dapat menurunkan pajak untuk mendorong konsumsi dan investasi. Kebijakan fiskal yang tepat dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi.
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Pajak juga dapat dirancang untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan memberikan insentif pajak untuk sektor-sektor tertentu, seperti teknologi atau industri kreatif, pemerintah dapat menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja baru. Pajak yang rendah untuk usaha kecil dan menengah juga dapat mendorong kewirausahaan dan inovasi.
Alat Redistribusi Pendapatan
Pajak berfungsi untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di masyarakat. Melalui sistem perpajakan yang progresif, di mana orang yang berpenghasilan lebih tinggi membayar persentase pajak yang lebih besar, pajak dapat membantu mendistribusikan kekayaan secara lebih merata. Dana yang terkumpul dari pajak ini dapat digunakan untuk program-program sosial yang mendukung kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Salah satu alasan utama kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Dengan meningkatnya kebutuhan anggaran untuk berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, pemerintah memerlukan sumber pendapatan yang lebih besar. Kenaikan PPN diharapkan dapat membantu menutupi defisit anggaran dan mendukung pembiayaan program-program tersebut.
Selain itu, pemerintah indonesia berkomitmen untuk menjaga keseimbangan fiskal. Kenaikan PPN merupakan salah satu langkah untuk memastikan bahwa pendapatan negara cukup untuk menutupi pengeluaran, terutama dalam konteks pembangunan jangka panjang dan keberlanjutan fiskal. Mengingat saat ini pemerintah sudah menyusun APBN tahun 2025 dan juga ada perubahan dari kebijakan-kebijakan yang nantinya akan diterapkan, misalnya kebijakan makan siang. Kebijakan ini dipastikan membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga menaikkan PPN juga mungkin menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan negara sehingga anggaran pemerintah dapat diseimbangkan dalam artian tidak melebihi angka defisit anggaran yang telah ditetapkan.
Pada tahun 2024, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa penerimaan pajak pada Januari 2024 telah mencapai Rp 149,25 triliun atau setara 7,5 persen dari target APBN. Â Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak terbesar berasal dari pajak penghasilan (PPH) non migas sebesar Rp 83,69 triliun atau sebesar 56,1 persen dari total penerimaan, dilanjutkan oleh pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 57,76 triliun, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 810 miliar. Sementara, realisasi penerimaan dari PPH migas mencapai Rp 6,99 triliun atau setara 9,15 persen dari target APBN.
Selain itu, berdasarkan aktivitas kegiatan ekonominya, Menkeu mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan PPN dalam negeri dan impor masih menunjukan tren positif. Tidak hanya itu, tren positif juga ditunjukan oleh realisasi penerimaan PPH 21 yang mencapai Rp 28,3 triliun atau setara 18,9 persen. Dalam hal ini, tren tersebut mencerminkan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja dan perbaikan gaji/upah. Sementara dari sisi sektoral, kontribusi penerimaan pajak terbesar berasal dari sektor perdagangan dengan realisasi sebesar Rp 38,8 triliun atau setara 26,6 persen dari total penerimaan, disusul oleh sektor industri pengolahan, jasa keuangan dan pertambangan.
Selain perpajakan, Menkeu Sri Mulyani juga memaparkan realisasi penerimaan dari kepabeanan dan cukai. Menkeu mengungkapkan, hingga Januari 2024 tercatat realisasi penerimaan dari bea masuk mencapai Rp 3,9 triliun, bea keluar Rp 1,2 triliun dan penerimaan cukai sebesar Rp 17,9 triliun. Â Selanjutnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 31 Januari 2024 juga tercatat cukup baik mencapai Rp 43,3 triliun atau setara 8,8 persen dari target APBN 2024. Mengenai hal ini, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menyebut bahwa kinerja positif ini dipengaruhi oleh moderasi harga komoditas seperti minyak dan batubara, diikuti dengan penerimaan dari Kekayaan Negara yang Dipisahkan, PNBP lainnya, dan pendapatan BLU.
Dilihat dari kondisi ini dapat diperkirakan bahwa dengan adanya peningkatan PPN menjadi 12% dapat meningkatkan pendapatan serta meningkatkan sumbangan terhadap penerimaan negara keseluruhan yang pada awalnya menyumbang 57,6 Triliun dari total 149,25 Triliun atau sekitar 38,59%. Hal ini harus digarisbawahi jika tidak terjadi hal-hal diluar kendali, seperti pandemi, bencana alam dll.
Kenaikan PPN menjadi 12% ini memiliki terhadap masyarakat, terutama pada masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah. Ada beberapa dampak yang mungkin akan terjadi jika kenaikkan PPN diterapkan.
Pertama, dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa yang dikenakan pajak akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan inflasi, terutama pada barang-barang kebutuhan pokok. Kelompok ekonomi menengah ke bawah, yang cenderung menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk kebutuhan dasar, akan merasakan dampak yang lebih signifikan dari kenaikan harga ini. Akibatnya, jika terjadi kondisi ini maka dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Jika harga barang dan jasa meningkat, masyarakat mungkin harus mengurangi konsumsi atau beralih ke barang yang lebih murah, yang bisa berdampak pada kualitas hidup mereka.Â
Pada akhirnya, masyarakat akan mulai mengubah pola konsumsi mereka. Masyarakat mungkin lebih memilih barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak atau mencari alternatif yang lebih murah. Ini dapat berdampak pada sektor-sektor tertentu, seperti barang mewah atau barang yang tidak esensial. Jika hal ini terjadi, maka nilai konsumsi masyarakat turun dan mungkin dapat menurunkan pendapatan nasional.
PPN adalah pajak tidak langsung yang cenderung bersifat regresif, artinya beban pajaknya lebih berat bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Kelompok menengah ke bawah akan merasakan dampak yang lebih besar karena mereka menghabiskan lebih banyak dari pendapatan mereka untuk konsumsi. Ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi. Selain itu, kenaikkan PPN ini dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika masyarakat merasa bahwa kenaikan pajak tidak diimbangi dengan peningkatan layanan publik atau program sosial, hal ini dapat menurunkan kepercayaan dan kepuasan terhadap pemerintah.
Dalam rangka menghadapi tantangan ekonomi yang terus berkembang, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan fiskal yang responsif dan inklusif. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 merupakan langkah strategis yang diambil untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampaknya terhadap masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah, harus dipertimbangkan dengan seksama. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan, tetapi juga pada perlindungan dan pemberdayaan masyarakat yang paling rentan.
Selanjutnya, penting bagi pemerintah untuk melakukan komunikasi yang transparan mengenai alasan dan tujuan dari kenaikan PPN ini. Edukasi kepada masyarakat mengenai bagaimana pendapatan yang diperoleh dari pajak akan digunakan untuk program-program sosial dan pembangunan infrastruktur sangatlah krusial. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat diharapkan dapat mendukung kebijakan ini dan melihatnya sebagai investasi untuk masa depan yang lebih baik.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh kelompok berpenghasilan rendah. Program bantuan sosial dan subsidi bagi barang-barang kebutuhan pokok dapat menjadi salah satu solusi untuk menjaga daya beli masyarakat. Dengan demikian, meskipun PPN meningkat, masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa merasa terbebani.
Pada akhirnya, keberhasilan implementasi kenaikan PPN ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengelola dan mendistribusikan pendapatan pajak secara efektif. Dengan pengelolaan yang baik, diharapkan kenaikan PPN dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
https://www.antaranews.com/berita/4413517/ppn-2025-naik-jadi-12-persen-ini-penjelasannya
https://klikpajak.id/blog/pajak-langsung-dan-tidak-langsung/
Putri Dian & Wijaya Suparna. (2022) "PAJAK PERTAMBAHAN NILAI FINAL: BELAJAR DARI GHANA DAN CHINA". Jurnal Pajak dan Keuangan Negara
Kharisma Nurul & Furqon Imahdi (2023) "Analisis Dampak Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terhadap Masyarakat Dan Inflasi Di Indonesia". Jurnal Sahmiyya
Penulis: Team Academic Department ECOFINSC FEB UNDIP
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI