Pada tahun 2024, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa penerimaan pajak pada Januari 2024 telah mencapai Rp 149,25 triliun atau setara 7,5 persen dari target APBN. Â Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak terbesar berasal dari pajak penghasilan (PPH) non migas sebesar Rp 83,69 triliun atau sebesar 56,1 persen dari total penerimaan, dilanjutkan oleh pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 57,76 triliun, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 810 miliar. Sementara, realisasi penerimaan dari PPH migas mencapai Rp 6,99 triliun atau setara 9,15 persen dari target APBN.
Selain itu, berdasarkan aktivitas kegiatan ekonominya, Menkeu mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan PPN dalam negeri dan impor masih menunjukan tren positif. Tidak hanya itu, tren positif juga ditunjukan oleh realisasi penerimaan PPH 21 yang mencapai Rp 28,3 triliun atau setara 18,9 persen. Dalam hal ini, tren tersebut mencerminkan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja dan perbaikan gaji/upah. Sementara dari sisi sektoral, kontribusi penerimaan pajak terbesar berasal dari sektor perdagangan dengan realisasi sebesar Rp 38,8 triliun atau setara 26,6 persen dari total penerimaan, disusul oleh sektor industri pengolahan, jasa keuangan dan pertambangan.
Selain perpajakan, Menkeu Sri Mulyani juga memaparkan realisasi penerimaan dari kepabeanan dan cukai. Menkeu mengungkapkan, hingga Januari 2024 tercatat realisasi penerimaan dari bea masuk mencapai Rp 3,9 triliun, bea keluar Rp 1,2 triliun dan penerimaan cukai sebesar Rp 17,9 triliun. Â Selanjutnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 31 Januari 2024 juga tercatat cukup baik mencapai Rp 43,3 triliun atau setara 8,8 persen dari target APBN 2024. Mengenai hal ini, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menyebut bahwa kinerja positif ini dipengaruhi oleh moderasi harga komoditas seperti minyak dan batubara, diikuti dengan penerimaan dari Kekayaan Negara yang Dipisahkan, PNBP lainnya, dan pendapatan BLU.
Dilihat dari kondisi ini dapat diperkirakan bahwa dengan adanya peningkatan PPN menjadi 12% dapat meningkatkan pendapatan serta meningkatkan sumbangan terhadap penerimaan negara keseluruhan yang pada awalnya menyumbang 57,6 Triliun dari total 149,25 Triliun atau sekitar 38,59%. Hal ini harus digarisbawahi jika tidak terjadi hal-hal diluar kendali, seperti pandemi, bencana alam dll.
Kenaikan PPN menjadi 12% ini memiliki terhadap masyarakat, terutama pada masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah. Ada beberapa dampak yang mungkin akan terjadi jika kenaikkan PPN diterapkan.
Pertama, dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa yang dikenakan pajak akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan inflasi, terutama pada barang-barang kebutuhan pokok. Kelompok ekonomi menengah ke bawah, yang cenderung menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk kebutuhan dasar, akan merasakan dampak yang lebih signifikan dari kenaikan harga ini. Akibatnya, jika terjadi kondisi ini maka dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Jika harga barang dan jasa meningkat, masyarakat mungkin harus mengurangi konsumsi atau beralih ke barang yang lebih murah, yang bisa berdampak pada kualitas hidup mereka.Â
Pada akhirnya, masyarakat akan mulai mengubah pola konsumsi mereka. Masyarakat mungkin lebih memilih barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak atau mencari alternatif yang lebih murah. Ini dapat berdampak pada sektor-sektor tertentu, seperti barang mewah atau barang yang tidak esensial. Jika hal ini terjadi, maka nilai konsumsi masyarakat turun dan mungkin dapat menurunkan pendapatan nasional.
PPN adalah pajak tidak langsung yang cenderung bersifat regresif, artinya beban pajaknya lebih berat bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Kelompok menengah ke bawah akan merasakan dampak yang lebih besar karena mereka menghabiskan lebih banyak dari pendapatan mereka untuk konsumsi. Ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi. Selain itu, kenaikkan PPN ini dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika masyarakat merasa bahwa kenaikan pajak tidak diimbangi dengan peningkatan layanan publik atau program sosial, hal ini dapat menurunkan kepercayaan dan kepuasan terhadap pemerintah.
Dalam rangka menghadapi tantangan ekonomi yang terus berkembang, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan fiskal yang responsif dan inklusif. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 merupakan langkah strategis yang diambil untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampaknya terhadap masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah, harus dipertimbangkan dengan seksama. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan, tetapi juga pada perlindungan dan pemberdayaan masyarakat yang paling rentan.
Selanjutnya, penting bagi pemerintah untuk melakukan komunikasi yang transparan mengenai alasan dan tujuan dari kenaikan PPN ini. Edukasi kepada masyarakat mengenai bagaimana pendapatan yang diperoleh dari pajak akan digunakan untuk program-program sosial dan pembangunan infrastruktur sangatlah krusial. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat diharapkan dapat mendukung kebijakan ini dan melihatnya sebagai investasi untuk masa depan yang lebih baik.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh kelompok berpenghasilan rendah. Program bantuan sosial dan subsidi bagi barang-barang kebutuhan pokok dapat menjadi salah satu solusi untuk menjaga daya beli masyarakat. Dengan demikian, meskipun PPN meningkat, masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa merasa terbebani.