Dalam pandangan mata lemahku
Pada hamparan taman berbunga
Karpet rerumputan yang hijau, istana-istana berdiri
Aku menciumi seraut wajah dengan rindu
Membuatku menangis sesak
Sampai aku merasa akan buta
Sampai aku merasa akan tenggelamÂ
Pada pusaran sungai  airmata yang tak berujung
Oh hati
Bagaimana puasa pada perut yang menderita
Bagaimana puasa pada hati si pecinta
Bisa dijalani sedemikian rupa
Masih terbingkai dalam senyum sempurna
Tak ada keluh resah dalam keguncangannya
Selain puja puji syukur yang menerjang  mata hatiku
Aku rasa cemburu memburu tiba-tiba
Oh mata
Pada siapa sebenarnya diri  ini menangis
Mengapa aku yang terluka
Mengapa  aku yang berduka
Mengapa aku yang merasa kalah
Padahal taman berbunga milik mereka
Rumput yang hijau teduh pun milik mereka
Apakah aku sungguh cemburu
Oh lidah
Kau berkata tidak, tapi  yang fitrah menolak
Mengapa kau masih silang kata
Berbantah bahwa mereka yang menderita
Adalah pemilik  istana sebenarnya
Bukan aku yang mewangi dunia
Dan benar mereka pemiliknya,Â
Mereka yang jernih  bukan akuÂ
Apakah aku  jatuh dalam sungai cemburu
Memang pada deritanya, pada lukanya, pada matanya, pada laparnya, pada kehilangannya
Ada taman berbunga yang memiliki rumput kehijauan abadi
Mata yang terbuka dan hati yang terang bakal cemburu
Seperti aku yang menangisi diri sendiri
Karena lupa diri, lupa tujuan, lupa kehakikian
Lalu masih berkata aku bagian dari mereka
Tanpa berbenah perut, tangan, kaki, mata , telinga, apalagi hati!
Sungguh, kali ini aku memilih tenggelam
Aku sangat malu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H