Mohon tunggu...
Echa Sofie
Echa Sofie Mohon Tunggu... -

10 tahun terakhir saya berkutat di bidang Broadcast. Bagian pengalaman lainnya yang saya pernah geluti adalah Public Relation's & Marketing. Semua pengalaman kerja tsb saya miliki saat tinggal di Yogyakarta. Saat ini saya mencoba untuk berkarya di Palembang, kota kelahiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rich Dad, Poor Dad

29 April 2010   04:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Tong … tong” terus hening.

Ayah mencondongkan tubuhnya sampai kursinya ikut maju dan mengusap – usap kepala Fasya “Minum dulu, nak es nya” (walah … kok kaya’ adegan tuan rumah & tamu gitu?)
Saat yang sama Ayah berfikir : (jelegyerrr … bagai petir di siang bolong … halah) “Subhanallah … anakku bukan nangis oleh dirinya. Dia malah berfikir untuk orang lain. Bener – bener … mirip aku … eh … ralat : bener – bener baik hati anakku”
“Ayah nggak marah, Sya. Kapan terakhir Ayah marah?”
“Tong … tong” pancuran bambu itu masih eksis.
Sambil minum es jeruksari yang nggak ada gumpalan kesukaannya, Fasya nggak jawab dan cuma menggeleng.
Melihat gelengan Fasya, ayah langsung goyang – goyangin kepala menirukan gelengan boneka per yang nongkrong di dasbor mobil Pak Rifin temannya ayah.

Melihat ayah jadi aneh, hampir Fasya tersedak kalo tidak cepat – cepat menarik kepalanya dari cengkeraman mulut gelas… (halah…)

“Tong … tong”

“Xixixi … ayah lucu”, Fasya tidak dapat menahan diri untuk terkekeh kaya’ Mbah Dul.
“Ayah lucu …? Ayah lucu…?”, kata Ayah sambil gelengin kepala ajrut – ajrutan.
“Ha … ha … ha”

“Tong … tong”

“Sya, kita cari kaosnya, yok?” kata ayah sambil bangkit dari kubur … eh … bangkit dari kursi, berjalan kea rah kenop pompa dan suara “Tong … tong” pancuran bambu itu berhenti.
“Gini, coba Fasya pura – puranya kaya’ habis latihan, lari ke rumah, buka baju, terus kemana?” lanjut ayah.

Fasya mengernyitkan kening, gaya khasnya kalo sedang berfikir (dipikirnya dia Einstein? Serius amat, siy). Dia lari ke halaman rumah, tangannya seperti menenteng sesuatu (kelihatannya dia pura – pura sedang nenteng sepatu), melewati taman yang ada pancuran bambu, arahnya ke gentong, membasahi rambutnya, mencuci muka dan mengakhiri “ritual” itu dengan cuci kaki.
Fasya berjalan kea rah rumah dengan meloncati batu – batu setapak (mungkin dia sedang berkhayal punya ilmu meringankan tubuh, ciaaaattt … ), lalu kaki mungilnya mendarat di keset karet bertuliskan HEAVEN (kok ada ya, keset tulisannya bukan WELCOME?)
Fasya mesuk rumah dan ayah yang masih berada di beranda mengikutinya.
Fasya masuk kamar, membuka lemari pakaian, mengambil handuk bersih, mengelap mukanya sekilas, melempar handuk ke tempat tidur sampai menutupi bantal bolanya lalu … hoplaaaa … Fasya membuka kaosnya yang dilempar ke udara lalu diarahkan ke kolong tempat tidur oleh tendangan mata kakinya seakan – akan gumpalan kaos basah itu adalah bola sepak yang pasrah pada tuannya.

Melihat adegan itu, ayah setengah teriak “Sodara penonton, tendangan maut dari striker kita mengarah ke kolong tempat tidur…”
Fasya kaget dan mengintip kesana. Kolong tempat tidur. Nun jauh disana, di pojok kolng nan gelap, samar – samar terlihat gumpalan sebesar bola sepak. Dengan air muka bersalah, Fasya mengambil sapu lidi di pojok kamar yang biasa dipakainya untuk membersihkan kasur untuk kemudian menyodok – nyodok gumpalan itu. Ayah hanya memperhatikan dari pintu kamar.

Keringat mulai nampak bintiknya di kening Fasya. Diseretnya gumpalan itu, Nampak biru baju yang tadi baru ditendangnya. Berdebu. Terseret juga gumpalan lain. Merah – Putih tersembul. Fasya menoleh ke ayah. Tatapan mereka bertemu. Baju Bambang, ayah?
Ayah senyum- senyum menggemaskan (halah …)

Setelah tidur siang paling nyenyak yang pernah Fasya rasakan, Fasya sudah berada di pinggir lapangan rumput di depan rumah sambil memegang botol minuman (bukan mau syuting iklan minuman berenerji, lho … ) Bersama ayah, teman ayah dan beberapa temannya, Fasya siap pemanasan (ayah bilang tentang sesuatu yang ada up – up gitu)

“Fasya, habis latihan nanti, baju BOAS nya ditaruh mana?”, suara ayah memecah konsentrasi.
“Taruh di jemuran belakang”
Ayah : “Biar apa?”
Fasya : “Biar kering”
Ayah : “Habis kering?” (habis kering sepah dibuang, ayah … halah itu habis manis)
Fasya : “Dicuci Mbak Nas”
Ayah : “Kalo nggak dijemur dulu, memangnya kenapa?”, tanya ayah sambil menghitung jumlah bola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun